Episode 13

1 1 0
                                    

Nilam yang baru saja bercerita panjang lebar lantas menenggak air minumnya. Tenggorokannya yang kering kembali basah oleh air. Aku menghela napas, tanpa sadar tanganku terkepal erat.

“Para pendeta di Kuil Matahari ternyata bekerja sama dengan para Dewa Matahari. Mereka tahu tentang pembantaiam siluman dan perampokan di dunia manusia, dan merekalah yang memperlancar aksi di dunia manusia.” Ucap Nilam.

“Kalau begitu, kau dijebak?” Tanyaku.

Dia mengangguk. “Sebenarnya saat aku mengintip di istana Jenderal Matahari, tidak ada satu dewa pun yang mengetahui keberadaanku. Tapi ketika aku turun ke dunia manusia, dan terlanjur menceritakan kejadian itu… para pendeta melaporkannya kepada para Dewa Matahari. Mereka berdua menganggap bahwa aku adalah ancaman terbesar kemudian mulai menyusun rencana untuk mengusirku.”

“Apa dengan menuntunmu ke Kuil Langit adalah rencana mereka?”

“Iya. Aku tidak tahu bahwa dewa dari kerajaan lain tidak bisa membuka portal selain di kuil kerajaannya sendiri. Energi yang berbeda antara kedua kerajaan akan saling beradu, dan menimbulkan kekacauan serta ketidakseimbangan. Para pendeta itu tahu, dan menjebakku dengan cara ini.”

“Mereka sengaja membuat Kakak menghancurkan Kuil Langit?”

Nilam mengangguk.

“Lalu bagaimana pertarungan dengan Dewa Langit?”

“Itu juga bagian dari rencana mereka.” Jawab Nilam. “Mereka tahu bahwa ada dewa yang turun untuk menjaga Kuil Langit di bagian barat. Mereka sengaja mengajakku ke Kuil Langit di barat agar Dewa Langit menangkap basah perbuatanku dan mengajakku bertarung—mengingat Dewa Langit sangat sombong dan agak payah dalam mengendalikan emosi. Kekuatan Dewa Langit masih belum sebanding dengan kekuatanku, karena dia memang baru dilahirkan. Karena itu aku bisa menghabisinya dengan mudah, tapi aku juga harus menerima hukuman ini.”

Tanganku terkepal semakin erat, dan secara tidaksadar aku mengumpat. “Keparat.”

“Tidak masalah. Hal itu terjadi sudah sangat lama.”

“Kakak, kenapa kau tidak mencoba mengatakan kebenarannya? Apalagi… kau punya bukti! Kertas itu!”

“Mereka membakar bukti itu. Ya, aku baru sadar.” Nilam menggaruk bagian belakang kepalanya. “Membela juga percuma. Para Dewa Langit terlanjur marah padaku. Buktinya terlalu nyata. Akan semakin sulit jika aku membela diri.”

Nilam kemudian mengelus kepalaku perlahan. “Di kahyangan aku sangat kesepian. Dunia siluman ini menyayangiku lebih dari kahyangan. Apalagi ada kalian berdua. Aku tak butuh apapun lagi.”

“Realistislah. Di dunia ini kita butuh kedudukan.” Sindirku.

“Tidak. Aku kan sudah punya keluarga, teman, dan uang—meski tidak sebanyak saat di kahyangan tapi aku bisa makan enak setiap hari.”

“Hmmm… benar juga.”

“Tapi… kalau bisa jangan meniruku.” Ucapnya. “Aku tidak ingin kalian memilih diam dan menutupi kebenaran besar. Itu… agak tidak adil…”

Kutatap mata bulatnya. Tanganku tanpa sadar bergerak meraih pipinya. Telapak tangan Nilam meraih pergelanganku.

“Kenapa? Hm? Kau mau menjadi bayi lagi? Dulu kau suka meremas wajahku dengan tangan kecilmu.”

Aku dan Nilam tertawa bersamaan.

“Kakak…” Panggilku.

“Iya?”

“…. Aku tidak akan melupakanmu.”

Under The Sun LanternTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang