MARSI
Do you know, what is in my mind when holiday is getting near? Everybody must have their own way enjoying their holiday. Dan daripada memilih liburan ke Singapore seperti temanku Maya, atau pergi ke pusat perbelanjaan untuk mengecek diskon makeup keluaran terbaru. Aku memutuskan duduk manis di atas sofa apartemen Syahdan seraya menyaksikan tayangan televisi, of course after we spent the night full of fatigue.
Eits, jangan berpikir liar. This is not sex, melainkan pulang kerja, lantas memutuskan menonton film action terbaru, selepas itu makan di Japanese restaurant, dan berakhir tidur di apartemen ini dengan kamar yang terpisah. Bukankah itu termasuk kegiatan yang melelahkan besides working on the bed? And most importantly, this apartment is very comfortable and I can get delicious food, of course from Chef Syahdan terhormat, yang sekarang terlihat berjalan dari dapur dengan membawa sepiring salad buah.
"Apa bagusnya menonton acara begituan?" Suaranya terdengar kesal.
Syahdan meletakkan saladnya di atas meja, lantas mengempaskan tubuhnya di sampingku yang masih betah menguasai televisi yang menayangkan program berjudul the project, sebuah program renovasi.
"This is about life style, Syah."
"Gaya hidup apaan? Nggak jelas," sambungnya.
Syahdan menusuk potongan melon berlumur yogurt dengan garpu lalu mengunyahnya.
Aku tidak ikut menusuk. Namun, saat tangan Syahdan kembali mengambil buah, aku menarik tangannya ke arahku lalu memakan buah dari garpu yang ia pakai. Melihat apa yang aku lakukan, Syahdan hanya berdecak, tidak berkomentar apa pun.
"Nah, begini kalau bicara dengan orang yang nggak searah. Lagipula gue nonton acara ini buat cari inspirasi rumah," kataku akhirnya.
"Oh gitu, wow sekali, Nona," komentar Syahdan dengan nada yang dibuat terkejut.
Aku menatapnya sebal. "Oh. Makasih, lho," cibirku.
Mendengar cibiranku, kontan saja Syahdan tertawa. Bodoh amat. Aku tidak menggubrisnya. Memilih untuk menyamankan posisi duduk dengan mengangkat kedua kaki ke atas sofa lalu kutekuk bersila dan menyandarkan kepalaku pada bahu Syahdan.
Dari jarak sedekat ini aroma tubuh Syahdan seenaknya menembus penciumanku. What's it called? Masculine? Or gentle? I don't know, yang aku tahu, aku menyukainya lantaran baunya tidak norak. Tidak tahu dari mana dia mendapatkan aroma seenak ini. Barangkali karena durasi mandinya yang lama atau boleh jadi ia memang bisa menjaga tubuhnya supaya tetap wangi.
"Memangnya lo ada rencana bikin rumah, Mar?"
Pertanyaan Syahdan mengalihkan lamunanku.
"Belum tahu. Eh, tapi itu kan acara renovasi ruangan kali, bukan renovasi rumah."
"Sama nggak, sih, Mar?"
Aku sedikit berpikir. "Ya sama sih, tapi nggak sama-sama banget. Nggak ngerti juga, bukan anak desain interior."
Syahdah hanya mengangguk sambil menikmati salad, maybe he understand.
"Kalau mbangun sama gue, mau?"
Aku melirik Syahdan. "Bangun rumah? Idih niat banget bangun sama lo. Gue mau pakai jasa pembangunan. Itu pun kalau gue ada rencana mau bangun rumah, sih."
"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?"
Aku sontak mengangkat kepala dari bahu Syahdah. Menoleh padanya yang tengah menatapku. Sempat tercengang, namun detik berikutnya kuteriaki dia.
"Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," cibirku. Tidak habis pikir dengan pria yang duduk di sampingku ini. Ada-ada saja pria ini. Akan tetapi aku sedikit merasa janggal begitu mendapatkan tatapan Syahdan yang amat serius menatapku. Kok merinding, ya?
"Bukan empat, girl," katanya.
Alisku menukik. "Terus?"
"Dua," sambungnya lalu nyengir.
Tai! Gue kena tipu.
"Bangsat! Apalagi itu. Nggak!" Aku menggeleng sebagai bentuk penegasan atas penolakanku.
"Jadi gue di tolak, nih?" godanya sambil menyenggol bahuku.
"Iya, tapi kalau gue jadi satu-satunya, bolehlah dipertimbangkan," ujarku lalu memasukkan potongan melon ke dalam mulut. Kunyah... kunyah... telan.
Aku melirik Syahdan, seringai dari bibirnya bukannya membuatku bergidik justru membuatku geregetan ingin menabok bibirnya.
"Kalau lo satu-satunya?" Tidak habis akal ternyata dia. Satu alisnya menukik.
Sebentar, keranjingan apa pria ini sampai bicaranya terdengar begitu serius begini? Tapi okay, aku ikuti permainannya.
"Tapi maskawinnya harus berlian, ya."
Aku menatap Syahdan dengan pandangan penuh kemenangan, tahu kali ini aku berada satu poin di atasnya. Syahdan mencondongkan badannya ke arahku sehingga kepala kami bisa berhadapan lebih dekat. "Jangankan berlian, batu asteroidpun gue ambil buat lo. Gimana?" sahutnya terdengar mantap.
Aku menyeringai. Gombalanannya benar-benar tidak masuk akal. "Lho, berarti lo milih mati dong daripada gue?" tukasku.
Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat perubahan raut wajah Syahdan yang melesu. "Ya kan perumpamaan, Mar," protesnya lalu menjauhkan tubuhnya dariku dan bersandar pada sofa.
"Tolong ya, itu bukan perumpamaan kali. Itu gombalan. Belum apa-apa masa udah gombal. Artinya lo nggak serius."
"Gue serius, ya," kilahnya. Matanya yang tajam menatapku seolah merasa tidak terima.
Aku ikut menyandarkan tubuhku dan menoleh padanya. "Gue juga serius. Asal berlian, besokpun gue jabanin."
"Ya sudah, tunggu."
"Gue nunggunya sampai besok jam tujuh, kalau nggak ada berlian. Bye bye deh."
Syahdan mengacak rambutnya. "Ya kan usaha dulu, Mar," katanya terdengar frustasi.
Aku terkejut dengan respons Syahdan barusan, terlebih dengan tatapannya yang tidak bisa aku artikan. Tatapan macam apa coba itu?
"Syah, apaan sih. Frustasi banget lo ini. Dah ah," tukasku.
Jika tidak segera disudahi, obrolan ini tidak akan ada ujungnya.
"Dah ah apa?"
"Ya udah, terserah lo," kataku lalu berdiri, perut keronconganku tiba-tiba menyuruhku untuk mengecek dapur. Mengabaikan Syahdan yang terlihat hendak menanggapi perkataanku.
Honestly, this is not the first time we talked about marriage. Walaupun aku merasa obrolan kali ini terasa lebih serius. Too bad we're not a couple, so tawaran pernikahan darinya bukan hal penting bagiku. Lebih dari itu, aku belum tertarik dengan pernikahan. Masih banyak yang harus aku lakukan sebelum menikah. Terlebih hidupku sudah terasa sempurna, aku punya mama yang pengertian, saudara yang perduli, dan teman dekat yang menemani tawaku. Itu lebih dari cukup.
"Mau ngapain, Mar?" teriak Syahdan dari ruang televisi. Telat banget dia tanyanya.
"Ambil nasi, laper!"[]
Hai, Beyond The Limit kembali tayang di wattpad hihi. happy reading ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit | TAMAT ✔
Romance"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tiba-tiba menawarkan sebuah pernikahan kepadanya. Padahal, selama ini Marsi tidak pernah menganggap Sya...