SYAHDAN
Dinginnya AC langsung terasa sesaat setelah gue masuk IGD. Sialnnya, rasa panik yang menghunjam serta langkah-langkah perawat dan beberapa orang yang bergema di setiap sudut berhasil memecah konsentrasi mencari keberadaan Dimas dan Tante Laudi. Baru setelah mendengar seruan yang memanggil gue, wajah Dimas berhasil terlihat, duduk di ujung kursi tunggu–dekat dengan pendaftaran pasien, berbaur dengan yang lainnya. Gue cepat-cepat menghampiri mereka.
"Gimana keadaan Marsi?" tanya gue mendesak.
Bersama mimik penuh kecemasan, Dimas menggeleng. "Belum tahu, Bang. Masih di periksa dokter."
Gue mengangguk meski tidak cukup menenangkan. Lantas ikut duduk di samping Tante Laudi–di atas bangku besi yang dinginnya berhasil menusuk setiap jengkal tubuh. Wajah penuh kemuraman wanita setengah abad di samping gue membuat gue seketika merasa begitu hancur. Tante Laudi merupakan wanita yang ceria, melihat keadaan detik ini, sama takutnya dengan mendengar kabar bahwa Marsi mencoba bunuh diri.
"Marsi, Syah. Marsi mau bunuh diri," cicitnya di sela isakan yang tersiar pelan.
Batu besar seolah berjaya menghimpit kerja jantung gue, juga berhasil membuat lidah gue kelu. Mencoba tetap jadi paling waras dengan membawanya ke dalam pelukan, memberikan ketenangan, kendati tidak sepenuhnya berhasil.
"Marsi akan baik-baik aja, Ma. Dia orang yang kuat." Gue berusaha menenangkan, biarpun barangkali di sini jadi yang paling panik dan khawatir.
"Marsi pasti sakit," rancau Tante Laudi lagi.
Gue makin erat memeluk Tante Laudi, membiarkan tangisnya makin pecah. Sementara gue tetap mengawasi Dimas yang terus meremas jemarinya juga kaki yang tidak bisa diam. Di balik punggung Tante Laudi, gue genggam jemari Dimas. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berusaha memberikan ketenangan pada dua orang ini. Mar. Sebenernya apa yang membuat lo memilih hal paling di benci Tuhan? Shit! Gue harus waras!
Baru tadi siang kami bercanda dengan Maya. Kenapa malamnya gue harus mendengar kabar paling tidak gue sukai?
"Kak Marsi ingat papa," ucap Dimas tiba-tiba.
Alis gue menukik, menunggu penjelasan berikutnya.
"Gue nggak tahu apa yang bikin dia ingat papa. Tapi, tadi ... dia teriak dan terus maki-maki papa," terang Dimas.
Apa yang baru saja Dimas katakan sungguh mengejutkan. Marsi tidak pernah bercerita tentang papanya dan gue selalu penasaran, masa lalu apa yang dia alami bersama papanya? Sampai malam ini, fakta memilukan harus gue dengar.
"Dia pasti ingat papanya yang meninggalkan kami," ungkap Tante Laudi.
Gue terdiam. Perceraian kedua orangtua Marsi bukan hal baru bagi gue, namun kenyataan-kenyataan yang mengiringi perceraian mereka sekali tidak gue katahui.
"Marsi pasti ingat malam di mana papanya memilih pergi meninggalkan kami."
Satu isakan lolos. Dimas sigap memeluk tubuh mamanya dari samping.
"Kalau saja dulu Marsi nggak lihat ... Nggak akan kayak gini ... hiks. Marsi pasti trauma." Tangis Tante Laudi kembali pecah.
"Marsi itu tertutup, Syah. Tertutup banget. Dia pinter banget menahan diri buat enggak curhat. Dan Mama juga bodoh karna nggak peka sama Marsi. Mama kira, dia baik-baik aja," sambungnya.
Tante Laudi menoleh pada gue. "Mama ... Mama rasa, itu yang membuatnya jadi nggak tahan."
Ia lantas menutup wajahnya dan kembali terisak. Menunduk, gue tatap jemari yang mendadak gemetaran. Gue bingung. Marsi dan segenap kenyataan yang dia sembunyikan menjelma kerumitan yang tidak pernah bisa gue pahami. Sekali lagi harus gue akui. Marsi benar, gue tidak seutuhnya mengerti tentang dirinya. Kabar buruknya, bukan hanya gue yang tidak mengenal Marsi dengan baik. Bahkan keluarganya juga. Lantas, kenapa gadis itu selalu menunjukkan sisi sok hebatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit | TAMAT ✔
Romance"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tiba-tiba menawarkan sebuah pernikahan kepadanya. Padahal, selama ini Marsi tidak pernah menganggap Sya...