SYAHDAN
Bermodal pede aja, membuat gue mengakui hidup gue ini penuh kenekatan.Nekat membangun Hakey, bahkan nekat mengajak Marsi menikah. Namun, dari seluruh kenekatan gue, rasanya ini yang ternekat. Membuat diri ini penuh keraguan.
Gue sampai berkali-kali mengembuskan napas saking gugupnya, sambil memandang rumah minimalis yang sejak tadi menjadi tujuan gue kemari. Rumah yang bahkan sejak kedatangan gue tiga puluh menit yang lalu terus saja sepi sampai detik ini. Rumah Om Anjas. Papa Marsi. Katakan selamat buat otak cerdik gue yang semalam menuntut nama lengkap Om Ajas lewat Dimas. Teknologi sekarang sudah maju, tidak sulit mendapat data alamat Om Anjas yang notabene mantan rektor universitas swasta.
Rasanya lucu saja, berada di satu kota yang sama, pertemuan Marsi dan papanya terjalin setelah bertahun-tahun berlalu. Makin lucu saat gue nekat kemari.
"Harusnya bener ini, kalau google mapsnya salah, tandanya gue belum disetujui buat ketemu," kata gue.
Mengembuskan lagi napas gue, gue buru-buru keluar mobil. Tidak bisa terus bermandikan keraguan, sebab kalau tidak segera diselesaikan, keadaan tidak akan membaik.
Jadi, apa semua pria akan mengalami kegugupan begitu ia hendak bertemu wali pasangannya? Gue akui jika gue termasuk orang yang tidak begitu ingin tahu, termasuk soal cerita orang-orang tentang bagaimana melamar pasangan mereka. Mengingat bagaimana gue mengajak Marsi menikah, seperti sudah menjelaskan, yang datangnya dari gue, rasa-rasanya memang selalu tanpa perencanaan.
Namun, tentu saja pagi ini gue sudah merencanakan apa-apa yang akan gue katakana. Terkadang, kita memang harus terjebak pada kesakitan yang terus menggunung dan menempel pada punggung kita, termasuk soal bagaimana hubungan gue dan Marsi tetap membutuhkan papanya, terlepas bagaimana kebencian terus menyembur, bahkan pada orang yang tidak pernah lagi ditemui.
Akan berbeda konteks kalau papa marsi mati. Damn! Gue nggak bermaksud mendoakan cepat mati, Tapi kalaupun belum, gue berharap adanya gue memang berguna buat Marsi dan keluarganya.
Tidak mau membuang banyak waktu bersama pikiran-pikiran gue, gue menekan bel di depan gue. Sekali tekan belum juga mendapatkan jawaban, gue kembali menekannya.
"Sebentar!"
Kaki gue otomatis terayun ke belakang. setengah terkejut, setengah lagi penasaraan. Napas gue terasa berat saat melihat handel pintu bergerak, disusul pintu yang terbuka dan wajah pria berambut putih di ambang pintu, menatap gue. Perasaan ini campur aduk. kesal, benci, dan gugup menjadi satu, terlebih begitu melihat senyumnya melengkung.
"Oh, maaf, siapa, ya?" tanyanya.
Demi menahan diri, gue mengepalkan tangan di balik tubuh. "Saya Syahdan. Ini benar rumah Pak Anjas Prasetya?"
"Iya, ini rumah Anjas, saya sendiri yang namanya Anjas. Ngomong-ngomong masnya ini Syahdan siapa, ya? Baru dengar saya," balasnya.
Mendengar kalau pria ini Om Anjas, gue sulit sekali menjabarkan bagaimana perasaan gue, yang rasanya makin kacau balau.
"Mas?" panggilnya.
"Saya Syahdan pacarnya Marsi," kataku cepat.
Barangkali pria di depan gue terkejut, namun lebih daripada itu, gue bisa melihat sinar matanya yang meredup. Bibirnya yang terbuka, dan suaranya yang tidak kunjung gue dengar.
"Maksud kamu, Mar-siana?" Pertanyaannya meluncur hati-hati sekaligus terdengar penuh dengan keraguan.
"Ya, Marsiana."
"Ah, kalau begitu, silakan duduk dulu, Mas," katanya.
"Ayo, masuk," ajaknya.
Gue pandangi tubuhnya yang berbalik dan berjalan mendahului gue, kakinya sedikit pincang, berjalan dengan bantuan tongkat. Fisiknya bahkan terlihat sudah renta. Jauh berbeda dengan Tante Laudi yang masih terlihat sehat dan energik. Usia mereka tidak akan berbeda jauh, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit | TAMAT ✔
Roman d'amour"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tiba-tiba menawarkan sebuah pernikahan kepadanya. Padahal, selama ini Marsi tidak pernah menganggap Sya...