SYAHDAN
Mendengar Marsi mengatakan, "Tapi jangan atur-atur gue lagi. Ngerti?" dengan telunjuk yang mengacung ke arah gue. Nyatanya gue hanya bisa tersenyum. Sejujurnya, tidak ada kosa kata yang bisa membuat gue mengiyakan permintaan Marsi barusan. Mengiyakan atau menyetujui sama saja dengan membiarkan Marsi bermandikan kesakitan dan kebencian sampai mati. Barangkali ini terdengar konyol atau aneh, tapi gue tidak mau membiarkan hal tersebut berlarut-larut mengikuti Marsi.
Apa yang gue bayangkan adalah Marsi bisa berdamai, yang juga tidak akan pernah menutupi seluruh lukanya di balik tawa. Gue percaya, apa yang gue lakukan, meski sulit, akan gue petik hasilnya.
Sehingga cowok sok pintar ini membut keputusan sendiri, mempemukan Marsi dengan papanya, tanpa sepengetahuan Marsi. Mencoba peruntungan dengan memberikan waktu pada Om Anjas untuk meminta maaf pada putrinya, terlepas bagaimana bejatnya pria tua itu menyakiti Marsi.
Sampai waktunya tiba, gue ingin sekali meminjam mesin waktu, supaya mengembalikan gue ke masa lalu, di mana gue bisa mengiyakan setiap permintaan Marsi dan menghindari kemarahan terbesarnya sepanjang kami bersama. Marsi marah ... dan mungkin dia tidak akan pernah mau memberikan maafnya lagi.
***
MARSI
Di dunia ini, orang yang selalu aku percaya adalah mama, Dimas, mungkin juga Maya–sebagai teman kantor yang menyenangkan. Dan aku tahu, Syahdan bisa menjadi orang yang aku percaya. Tidak peduli berapa kali dia membuat diri ini marah, tidak peduli bagaimana dia selalu membuatku tidak suka dengan tingkah dan segala pemikirannya.
Namun, itu yang disebut dengan sahabat, kan? Saat aku bisa selalu memberikan toleransi pada setiap hal-hal yang aku rasa membuat tidak nyaman. Sampai, kali ini, aku bisa jadi tidak mampu memberikannya toleransi apa pun. Dia harusnya tahu batasannya.
Dia melewati setiap peringatan-peringatan yang aku berikan. Bullshit dengan segala alasannya ingin melihatku hidup bahagia, sedangkan langkah yang dia ambil justru berkedok kebohongan.
Syahdan sudah berbohong dan aku tidak suka dibohongi. Terlebih jika kebohongannya harus berkaitan dengan orang yang amat aku benci dan tidak lagi aku percaya.
SYAHDAN
Gue sekarang ingat, sejak kapan gue tidak bisa jauh-jauh dari Marsi. Sejak di mata gue, Marsi adalah perempuan yang menarik. Caranya meminta tolong, caranya berbicara, caranya menolak gue, dan cara dia yang tidak pernah mau dianggap seperti gadis di luar sana, menjadi hal-hal yang yang membuat gue tertarik sampai jungkir balik. Terdengar lebay, tapi itu adanya.
Hidup gue rasanya sudah begitu bergantung pada Marsi, dan kalaupun kali ini dia harus marah lagi, dengan kemarahan yang mungkin akan sulit gue bujuk, gue tetap tidak mau kehilangan celah.
Maka begitu dia keluar Hakey, sebisa mungkin gue mengejarnya dan meraih lengannya. Membuat Marsi berhasil berbalik dan mau menatap gue meski dengan mata merah dan pandangan yang terasa dingin.
"Mar, gue bisa jelaskan," kata gue cepat.
Marsi menepis genggaman. "Apa yang mau lo jelasin, tuan sok pahlawan?" Penekanan di setiap kata yang Marsi ucapkan mampu menusuk dada sampai yang bisa gue rasakan hanya rasa sesak saja.
Tuan sok pahlawan? Benar, barangkali gue memang bersikap seperti pahlawan yang bisa melakukan apa saja demi orang yang dilindunginya, tapi hal paling krusial, gue bisa menghancurkan orang yang ingin gue lindungi, hanya karna merasa paling tahu semuanya.
Gue terlalu berpikir pendek Makian apa yang pantas gue? Bodoh? Bangsat? Atau bahkan tidak ada kata apa pun yang mampu memaki gue karna begitu gobloknya gue? Sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit | TAMAT ✔
Romance"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tiba-tiba menawarkan sebuah pernikahan kepadanya. Padahal, selama ini Marsi tidak pernah menganggap Sya...