MARSI
"Eh, udah pulang, Kak. Udah makan?"
Begitu aku menutup pintu dan berbalik, tubuh dan senyum mama menyambut. Ini bukan hal baru, tapi mungkin sejak kejadian malam itu–malam yang benar-benar tidak ingin lagi aku ingat. Sambutan setiap sore dari mama tidak hanya soal "Sudah pulang?" atau "Makan dulu." Namun, bertambah dengan rutinitas lainnya. Mama menyambutku, menanyakan kabar, menawarkan makan, dan menguatkan.
Denting sendok beradu piring pada makan bersama kami sepulang aku kerja, selalu berselimut diam. Di akhir kami makan, mama akan bilang, "Duh, wajahmu ini lho, Kak. Capek banget. Ingat, Kak. Jangan banyak kepikiran, ya." Sentuhan terakhirnya, aku hanya mengangguk, meski perasaan lega itu tidak kunjung juga aku dapatkan.
Perihal Syahdan, aku pernah bilang bukan, kalau aku selalu salut pada kegigihan Syahdan? Maka dia memang begitu. Sejak kejadian malam itu, dia masih gigih datang ke rumah. Menawarkan apa pun, mengajak bicara apa pun, dan aku bisa menyimpan tenaga karna di setiap kedatangan Syahdan, Dimas selalu bilang, "Pulang dulu aja, Bang." Atau mama yang bicara. "Ah, Marsi di atas, Syah. Naik aja." Lalu mama akan langsung masuk rumah, sedang Syahdan hanya bisa jadi patung pancoran di luar rumah. Bisa kulihat setiap kali menengok dari jendela kamar.
Persetan dengan segala yang datang dari Syahdan sejak malam itu, jawabanku selalu sama. Aku tidak bisa kembali pada hubungan kami setelah dia menjadi orang yang tidak lagi aku percaya. Berlebihan? Iya. Tapi aku tetap pada pendirian ini.
Bersyukur, paginya, setelah kejadian malam itu. Mama dan Dimas menjadi dua orang yang seolah lupa dengan apa yang baru saja terjadi–respons yang aku harapkan. Meski malam itu mama terus-terusan membombardirku dengan teriakan-teriakan penuh kekhawatirannya.
Pagi itu, setelah aku harus kembali bangun dengan mengingat kepingan-kepingan kesakitan. Aku mencoba lupa. Salat subuh, mandi, lalu bersiap ke kantor. Sampai di bawah Mama terus memaksa sarapan–aku memilih menuruti mama dan kami sarapan bersama.
Mama duduk di samping, mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, mama selalu ada buat aku, dan itu cukup meyakinkan jika mama berada di pihakku sampai kapanpun.
***
SYAHDAN
Begitu selesai memisahkan badan dan kepala udang, gue menggulung celana sampai sebatas lutut, lantas mulai membersihkan udang yang menjadi menu makan malam gue dan teman KKN.
"Tailah, gue itu nggak suka udang," umpat Marsi yang tiba-tiba sudah ikut berjongkok di samping gue. Bibirnya sampai maju karena dia gunakan untuk menggerutu sambil cemberut. Ngomong-ngomong gue sudah biasa dengan makian jorok yang bertolak belakang dengan wajah kalem Marsi tersebut. Awalnya memang terkejut, lama-lama terbiasa, dan ternyata asyik juga saat bisa menemukan gadis nyablak seperti Marsi ini. Memang spesies langka.
"Ya gimana lagi, Mar. Kita adanya kan cuma udang." Gue mencoba memberi pengertian, kembali sibuk membersihkan udang di bawah pancuran air mengalir.
"Tahu gitu, tadi gue aja yang ke pasar," gerutunya.
Gue melirik Marsi, gadis ini, bukannya membantu, justru bermain air yang terkumpul di dalam ember di depan kami.
"Kan gue udah bilang, kalau jadwal kita yang masak, nggak usah titip-titip kelompok lain, apalagi bilang, beli terserah lo aja. Tahu akibatnya, kan?"
Marsi makin cemberut. Terlihat sekali kalau gadis ini sama sekali tidak berniat membantu, sehingga mau tidak mau, gue menyelesaikannya sendirian.
"Baunya tuh khas banget, Syah. Sumpah, gue nggak bisa. Jangankan masak, makan aja ogah," tukasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit | TAMAT ✔
Lãng mạn"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tiba-tiba menawarkan sebuah pernikahan kepadanya. Padahal, selama ini Marsi tidak pernah menganggap Sya...