Tujuh, Rahasianya

1K 126 5
                                    

MARSI

Kusebut hari ini sebagai hari melelahkan. Membuat kepala mendadak memuat aku bisa mandi segar lalu berlagak tidur nyenyak di atas kasur. Perfect. Nahasnya segenap khayalan mesti tersakat saat aku mampir ke kubikel Maya. Kabar amat tidak ingin aku dengar meluncur dari bibirnya.

"Bos Mega ajak kita dinner. Birthday party, lho," serunya. Dia riang banget.

Seriuos, this is not good news. Lantaran dinner Bos Mega merupakan dinner bersama banyak botol wine yang bisa dinikmati–kecuali aku.

"Dan kabar lo kayak vonis mati buat gue," ungkapku jujur.

Maya tergelak. "Vonis mati banget? Kalau gue, sih, kayak taburan sakura di musim semi."

"Anjing," desisku. Lihat, basau sekali tawa Maya.

Begini, pesta dan wine menjadi kombinasi yang tidak bisa aku dapatkan sejak vonis asam lambung akut. Wine menjadi pantangan yang harus terhindar dan ... Oh tidak! Pesta dan wine. Sialan!

"Malas ikut gue," tukasku akhirnya. Sejurus kemudian duduk.

"Berlagak lo. Nanti kalo bos ke sini. Nyeret lo, kicep deh."

Aku manyun. "Makan di mana emangnya?"

"Biasanya. Vin+. Pesta wine, girl," goda Maya.

Panas sekali telingaku mendengar kompor dari mulutnya.

"Tai! Hari sial banget, sih!" umpatku.

"Eh, nggak boleh gitu. Hari penuh rezeki nih."

"Rezeki apaan coba?"

"Rezeki buat gue, dong." Maya mengibaskan rambutnya lalu mengerling.

"Itu namanya nggak adil," protesku.

"Ya adil dong, kan semua bisa makan gratis."

"Please. We're talking about wine, May."

"Girl, gue bicara makan gratis, tuh."

Aku berdesis.

"Kan bisa makan tanpa mabuk, right?"

"The thing is, I'm the only one who can't drink wine."

"So what? Nggak akan mati, kan?" balas Maya terdengar santai.

Oh okay, Maya benar. "Tapi–"

"Ini demi kebaikan lo. Demi perut lo, Mar," potong Maya.

Aku mencebik. "Sumpah, gue kangen mabok!" rancauku.

Dan tawa Maya menjadi hal terlaknat yang tidak ingin aku dengar.

"Santai, masih bisa pesan moktail. Right?" Maya memberikan pilihan.

Aku memutuskan tidak mengomentari pilihan Maya, tahu segalanya akan berujung sama.

"Dah ya, Mar. Gue mau touch up dulu, lo siap-siap mental aja, ya," sambung Maya.

Maya meraih pouch lalu mendorong kursinya dan beranjak keluar ruangan. Aku menandang malas tumpukan fail di hadapanku sambil mengelus perut. I wanna wine but ... I can't! Sepele memang, tapi come on! Wine dan kenikmatannya itu harga mati. Serius. Mungkin ini cara Tuhan menyelamatkanku dari barang haram–yang digemari tersebut.

"Kenapa sih lo nggak bisa gue ajak kompromi, woi?" makiku pada perut sendiri.

***

Bos Megantara merupakan potret perempuan karier yang aku idolakan. She has everything. She's free. beautiful, smart, and dedicated. But people say, she has one weakness. She's single, di usianya yang sudah empat puluh tujuh. But, for me, it's her privacy, no one else had to interfere.

Beyond The Limit | TAMAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang