MARSI
Banyak yang bilang, perempuan itu lemah. Katanya hal-hal yang mereka lakukan hanya jatuh cinta, patah hati, tertawa, lantas sibuk menangis. Identik juga dengan curhat sana sini tanpa lupa nyinyir ke sana ke mari. But, don't forget this statment. Selemah apa pun perempuan, dalam keadaan terdesak, mereka selalu punya tenaga kuda, siap di keluarkan kapan saja.
Seperti aku yang spontan membenturkan kening pada hidung mbangir Syahdan demi keselamatan bibir ini. Alih-alih puas, aku justru harus bertanggung jawab sudah melakukan kekerasan dalam rumah teman. Apalagi kalau bukan membereskan darah dari hidung Syahdan.
"Jangan tiduran, Bego. Duduk aja. Nanti darahnya bisa masuk otak, lho," kataku saat melihat Syahdan hendak berbaring di atas sofa.
"Emang bisa?" Suara bindengnya mengundang tawa, tapi kasihan juga lihat lubang hidung kirinya harus tersumpal tisu begitu.
"Ya siapa tahu. Gue pernah denger, sih."
"Mitos kali."
Aku berdecak. "Udah, nurut aja kenapa, sih? Kesel, deh."
Aku menarik tisu dari hidung Syahdan lalu menggantinya dengan gulungan tisu yang baru.
"Darahnya kayaknya udah nggak keluar, Syah," ujarku sambil pelan-pelan memasukkan tisu ke hidung Syahdan. Duh, sakit nggak, sih? Eenggak tega sama ekspresi Syahdan.
"Nggak keluar, sih, nggak keluar. Sakitnya nih yang masih," sewotnya.
"Siapa suruh main sosor aja." Aku nggak mau kalah, dong. Kalau saja dia tidak nekat, hidungnya pasti selamat.
"Iya-iya, maaf. Khilaf dikit masa nggak boleh."
Aku diam saja. Tidak berniat merespons, bisa panjang jika diteruskan. Aku sibuk membersihkan tisu-tisu bermandikan darah yang dia buang sembarangan ke lantai.
"Gue itu good kisser, lho. Masa nggak mau?" katanya tiba-tiba.
Aku mendelik pada Syahdan. "Gue nggak cari yang good kisser, gue cari yang good money."
Syahdan tertawa. "Baby, lo lupa gue bos?"
Aku menyeringai. "Bosokan?"
"Anjinglah!"
Giliran aku yang tertawa. Memilih tidak menanggapi Syahdan, aku beranjak untuk membuang tisu-tisu ke dalam tong sampah di dapur. Saat kembali, Syahdan tengah memejamkan matanya. Ia bersandar pada punggung sofa sambil bersedekap.
"Syah," panggilku.
Tidak ada jawaban. Begitu duduk di samping Syahdan, dengkuran halus dapat terdengar.
"Bisa sih tidur sambil duduk," gerutuku.
Kupandangi wajah syahdan yang tenang. Memandangnya begini membuatku tidak percaya jika kedekatan kami bisa selama ini. Kabar mengejutkannya, dia bahkan berani mengajak menikah. sekaligus membuat ingat pesan mama, soal mempertimbangkan tawaran Syahdan.
Sejak papa memilih pergi. Aku jadi tidak pernah mau repot-repot memikirkan pernikahan. Apa yang aku lakukan selalu supaya aku, mama, dan Dimas bisa tetap hidup enak. Tidak tahu apakah papa memberi biaya hidup atau tidak. Aku tidak pernah mau bertanya pada mama. Walau pada masa kebencian dulu, selalu berharap papa kembali. Meminta maaf pada kami. Aku hanya jadi anak yang merajuk pada papanya. Ironisnya, papa memilih tidak pernah datang barang sedikitpun. Aku juga tidak pernah bertanya pada mama. Kami seolah lupa. Walau pada kenyataannya, aku terus memupuk kebencian pada papa dan ketakutan pada kehidupan rumah tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Limit | TAMAT ✔
Romance"Kalau rumah tangga, bukan bangunan rumah, mau?" "Iyuh! Tambah ogah! Lo, kan berniat punya bini empat. Say goodbye aja, ya," Syahdan-sahabatnya-tiba-tiba menawarkan sebuah pernikahan kepadanya. Padahal, selama ini Marsi tidak pernah menganggap Sya...