BERTEMAN SEPI

1.1K 63 1
                                    

Andini murka saat tahu Angga tidak ada di rumah saat dia bangun tidur. Dia menolak Galang mentah-mentah. Pertengkaran semalam benar-benar menguras tenaganya. Dan pagi ini dia bangun kesiangan karena semalam tidur terlalu larut.

"Mana Angga, Mbak?" tanya Andini pada Minah asisten rumah tangganya.

"Dibawa Pak Galang, Bu. Ga tahu kemana. Tadi pagi-pagi sekali Pak Galang, Bu Kartika dan Angga pergi membawa koper. Saya tanya tidak dijawab," ujar Minah.

"Maksudnya apa ini?" Andini mengambil gawainya dan berusaha menelpon Galang. Tapi tak tersambung.

"Mungkin mereka mau liburan, Bu." celetuk Minah. Seketika Andini membulatkan matanya. Dia semakin kesal dengan sikap Galang yang nekat membawa kabur Angga.

"Brengs*k Galang!! Hak asuh Angga ada sama aku. Kenapa dia bawa juga?!" Andini mencengkram ponselnya hingga buku-buku tangannya memutih. Rasa kesalnya sudah di ubun-ubun. Tapi buntu. Dia tidak tahu kemana Galang pergi.

[Halo, Bu. Mas Galang dan Angga di sana?] Andini berusaha menghubungi ibunya Galang. Dan jawabannya mengecewakan. Nihil. Galang tak ada di sana.

"Kemana lagi kira-kira dia bawa kabur Angga?"  Andini berulang kali menghubungi Galang tapi satu hal yang dia sesali, dia tidak punya nomornya Kartika. Baginya tak penting juga menyimpan nomor pelakor di ponselnya.

Dia enggan juga menghubungi teman-teman Galang. Yang ada dia hanya akan menjadi bahan ledekan. Karena sampai tidak tahu kemana suaminya pergi.

**
Hari demi hari dilalui Andini dengan berteman sepi. Tak ada anak, tak ada suami. Tak ada yang bisa dia ajak berkeluh kesah selain Lena, sahabat yang dia percaya.

"Minta tolong sama Gusti, Din. Ayolah. Kenapa harus gengsi?"

"Ga Len. Aku sudah jadi janda sekarang. Ga baik meminta bantuan pada laki-laki yang jelas-jelas ada perasaan sama aku. Aku tidak serendah Galang. Meski aku ga paham agama seperti mereka berdua, setidaknya aku tahu batasannya. Pengacaraku sudah membantuku mencari keberadaan Galang dan Angga. Sekarang aku hanya bisa menunggu," ucap Andini dengan lemah. Badannya seperti tak bertenaga. Sudah tiga hari ini Dia tidak bisa makan.

"Ya sudah kalau begitu. Mau aku bikinin apa? kamu pucat banget Din. Kamu sakit ya?" tanya Lena saat Andini duduk di ruang keluarganya. Dan di rumah Lenalah Andini saat ini.

"Ga Len. Aku baik-baik saja. Bukankah aku wanita kuat? aku tak akan menyerah dengan kondisiku. Aku harus sehat demi Angga. Aku yakin. Aku akan bertemu dengannya lagi?"

"Selalu seperti itu. Kamu memang pimpinan di perusahaanmu. Yang harus terlihat kuat dan percaya diri. Tapi tak ada salahnya mengakui kalau kamu memang sedang terpuruk saat ini. " Lena bergegas ke dapur untuk membuatkan teh hangat dan cemilan yang tadi dia buat.

"Ga usah repot-repot, Len," tiba-tiba Andini merasa tidak beres dengan perutnya. Rasanya bergejolak. Rasa ingin memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya. Tapi dia tahan. Dan akhirnya dia tak kuat lagi menahan.

"Len, aku pinjam kamar mandinya ya," ucap Andini tergesa. Dia berlari menuju kamar mandi Lena yang sudah dia hafal dimana letaknya.

"Jangan-jangan maagnya kambuh tuh. Udah dibilangin ga usah minum lagi. Ngeyel sih jadi orang," gerutu Lena sambil meletakkan secangkir teh hangat dan sepiring kue untuk Andini. Dia menunggu dengan sabar.

"Hah lega.." ucap Andini setelah keluar dari kamar mandi. Dia duduk bersebelahan dengan Lena yang sedang menatap heran ke arahnya.

"Kamu sakit Din. Maagmu kambuh? kamu itu punya maag tapi masih sering minum. Apa ga kasihan sama lambungmu?"

"Udah ga pernah minum Len sekarang. Entahlah aku jadi ga pengen minum sekarang. Ga tau mungkin masuk angin. Eh kamu masak apa tuh? baunya gitu amat Len." Andini menutup hidungngnya. Sangat mengganggu penciumannya.

"Aku masak martabak. Ada kulit lumpia sama daun bawang. Ya udah aku bikin cemilan ini aja. Gaya amat kamu. Bukannya kamu suka makan martabak telur?"

"Iya tapi kenapa baunya jadi nyengat gini sih Len. Jangan-jangan bahan udah busuk kamu pakai ya?" tuduh Andini sambil memalingkan wajahnya.

"Sembarangan aja kamu ngomong Din. Aku selalu memakai bahan makanan terbaik setiap masak. Dimakan sendiri masak ngasih bahan busuk. Nih lihat aku makan." Lena mengambil satu martabak dan memakannya di depan Andini. Untuk membuktikan kalau martabak buatannya aman.

"Ya ya.. maaf. Tapi tolong singkirkan dulu deh Len martabakmu itu. Beneran lho aku ga suka sama baunya." Andini menutup hidungnya rapat-rapat.

"Iya ya bawel amat. Tumben sih sikapmu kayak orang lagi ngidam aja. Mampus lu Din kalau beneran hamil. Kamu udah ga punya suami," celetuk Lena sambil membawa sepiring martabak yang tidak jadi dia makan bersama Andini.

"Ga mungkin lah. Emang kapan aku mau berhubungan sama Di--" Andini sejenak mengingat kembali kapan dia berhubungan dengan Galang. Dan mulai menghitung kapan terakhir dia datang bulan.

"Ya kali aja. Kamu ga KB kan?

"Enggak. KB cuma bikin gendut aja."

"Mana mungkin kamu bisa gendut? pola makan aja kamu jaga."

"Udah deh Len. Aku ga mau bahas begituan lagi. Ini bisa jadi bumerang buat aku." Andini memijit pelipisnya. Mendadak dia khawatir dengan apa yang diucapkan Lena.

"Ya sudah kalau itu maumu. Tapi ga ada salahnya kamu cek kesehatan, Din. Duit banyak. Masa ga mampu berobat sih. Aku lihat auramu sedang gelap. Minum." Lena kembali duduk di sebelah Andini. Dia membawakan lagi secangkir teh yang masih panas.

"Panas, Len."

"Udah minum. Biar anget perutmu."

"Ya ya.. Aku mau pulang aja ya Len. Aku ga mau berobat. Takut ketahuan sakitnya apa." Andini langsung mengambil tas yang ada di sebelahnya.

"Ga gitu juga kali Din. Lebih cepat lebih baik. Apalagi kamu sekarang sendiri. Ga ada suami dan madumu, juga anakmu. Kamu harus cek kesehatan. Biar biar bisa segera diobati kalau memang ada penyakit. Kamu pucat begitu koq."

"Halah.. paling cuma masuk angin Len. Udah ah aku pulang aja. Mau istirahat. Makasih ya minumnya."

"Ya udahlah terserah kamu. Yang penting aku udah ingetin kamu, Din. Kamunya aja yang bandel. Ga mau ikutin nasehatku." Lena terpaksa ikut berdiri mengantarkan Andini pulang. Tapi dalam hatinya dia khawatir dengan keadaan sahabatnya itu.

"Udah ga usah khawatir. Aku kan kuat. Jadi ga mungkin sakit, Len."

"Jangan sombong kamu."

"Jangan ngambek donk, Bu. Udah ya aku pulang dulu. Doain aku biar aku ga sakit." Andini memeluk sahabatnya sebelum pulang. Dalam hati dia berharap semuanya akan baik-baik saja. Meski dia hanya sendiri sekarang. Hanya Lena yang masih peduli padanya.

Lama Andini mengitari jalanan sambil memikirkan apa yang terjadi setelah ini. Mencari keberadaan Angga adalah tujuan utamanya. Tapi apa yang dia alami sekarang juga tak luput dari pikirannya. Hingga akhirnya dia memberanikan diri mendatangi tempat ini.

ISTRI YANG TAK DIINGINKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang