Yoan, Piter, Teo dan Vion berdiri dengan membawa mangkuk siomay yang baru saja mereka beli. Mereka berjalan ke arah meja pojok setelah menemukan orang yang mereka cari.
"Boleh duduk disini?"
Tiga orang disana menghentikan obrolannya dan memandang kearah Piter.
"Eh, boleh-boleh." jawab Rigan.
Mereka lalu duduk setelah Rigan, Derren dan Adnan sedikit bergeser untuk memberikan tempat.
"Ga ada meja yang kosong, gapapa kan kita disini?" tanya Teo.
"Santai-santai." Adnan tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Ia senang jika mereka duduk bersama-sama, membuat suasana menjadi sedikit ramai dibanding hanya bertiga saja. Terlebih, ada Yoan juga yang ikut bergabung.
Yoan duduk disebelah Adnan, lalu mulai menyantap siomay yang ia beli. Sementara Piter berada disebelah Derren yang terlihat seperti tidak nyaman.
"Gw baru liat artikel, katanya di sekolahan ini ada siswi yang baru aja meninggal ya?" Teo membuka pembicaraan. Pertanyaan itu membuat Adnan, Rigan dan Derren saling pandang, Adnan berdehem sebelum akhirnya menjawab.
"Iya, seangkatan sama kita."
"Katanya sih dia bunuh diri dirumahnya sendiri, ga nyangka sih, padahal pinter." sambung Rigan.
"Dia pinter?"
"Dia juara kelas. Tapi ya gitu, dia ga punya temen. Ga ada yang mau temenan sama dia, pokoknya gitu deh."
"Kenapa ga ada yang mau temenan sama dia?" Kali ini Yoan yang melontarkan pertanyaan.
"Disamping fakta kalo dia tuh anaknya pinter, banyak rumor yang bilang kalo dia tuh ga bener, kita gatau pasti sih."
Yoan, Piter, Teo dan Vion diam setelah mendengar penuturan Rigan. Rumor apa? Selama ini mereka mengetahui bahwa Zeline adalah anak baik dengan lingkungan yang baik pula.
Zeline tak pernah bermasalah disekolahnya, karena jika ada, Zeline pasti akan berbagi masalah itu kepada mereka. Zeline juga mempunyai banyak piagam berbagai perlombaan yang ia ikuti, bahkan dari dirinya menginjak bangku SMP dulu.
Kriinggg.. Kriiingg..
Bel pertanda jam istirahat sudah selesai berbunyi, mereka memutuskan untuk menyudahi percakapan itu dan kembali ke kelas masing-masing. Percakapan tadi membuat banyak pertanyaan dibenak mereka.
Ada apa dengan Zeline disekolah? Apakah ia ditindas disekolah? Atau bagaimana?
Yoan berusaha menahan air matanya, tak menyangka jika kehidupan sekolah Zeline tak semulus yang mereka kira. Teman macam apa sampai mereka tak mengetahui masalah Zeline?
*****
Tok tok tok!
"Assalamualaikum."
Empat sekawan itu memutuskan untuk mengunjungi rumah Zeline, sudah satu tahun semenjak mereka tak pernah datang kemari.
Rumah yang terkesan minimalis namun nyaman. Zeline bukan lah orang kaya yang mempunyai rumah mewah. Namun, keluarganya cukup terbilang mampu.
Pintu rumah dibuka oleh seorang anak kecil yang kira-kira berusia lima tahun, ia berlari kembali masuk saat melihat Yoan, Piter, Teo dan Vion datang.
"Kalian? Ayo masuk-masuk. Sudah lama tidak kemari."
Ayah Zeline terlihat lebih tua dari terakhir kali mereka bertemu. Anak kecil yang membuka pintu tadi adalah Radit, adik Zeline. Ia masih berumur empat tahun saat Zeline meninggal dunia.
"Ayah, apa kabar?" tanya Yoan setelah mereka duduk diruang tamu.
"Ayah baik. Kalian bagaimana? Kenapa sudah lama tidak datang?"
"Maaf ayah, kami baru sempat." jawab Teo.
"Bunda tidak disini, hanya ada ayah dan Radit." ucap ayah tiba-tiba.
"Bunda masih sangat kehilangan Zeline. Dia terus menangis siang dan malam, bertanya kapan Zeline akan datang. Makin parah sampai akhirnya bunda harus ayah titipkan kerumah sakit untuk diobati."
Mereka terkejut mendengar penuturan ayah, tak disangka bunda akan tenggelam dalam rasa kehilangan yang berlarut. Mereka mengerti ucapan ayah, bunda dititipkan dirumah sakit jiwa untuk kepentingan mentalnya. Bagaimanapun, bunda harus bangkit untuk Radit, anak satu-satunya yang mereka miliki sekarang.
Yoan menitikkan air matanya, ia menunduk diam saat menyadari bahwa tak ada yang baik-baik saja setelah gadis ceria dengan paras cantik itu pergi.
Ayah nampak kurus, mungkin lelah karena harus bekerja dan mengurus Radit. Tubuhnya tak setegap dulu, padahal ayah terbilang masih cukup muda.
"Kami minta maaf, yah." Teo berucap setelah semuanya terdiam beberapa detik. Vion menunduk dengan pandangan kosong, Piter pun serupa. Hanya Teo yang tersisa, ia menahan rasa sedih yang juga ia rasakan.
"Kenapa minta maaf?"
Teo menggeleng, tak tau mengapa tapi ia merasa bertanggung jawab atas kepergian Zeline. Teman-temannya pun pasti akan merasa begitu, kalau mereka peduli, Zeline tak akan pergi.
Ayah tersenyum, ia senang saat mengetahui teman Zeline bukanlah teman biasa. Mereka tetap peduli bahkan saat Zeline sudah tak ada. Zeline pasti akan senang jika tau tentang hal ini.
"Kalian sering-sering datang ya? Main sama Radit, dia kesepian."
Yoan yang sedari tadi menunduk menyembunyikan air mata dengan cepat menghapus air matanya dan menatap Radit. Mulai sekarang ia akan menganggap Radit sebagai adiknya sendiri.
Pertemuan mereka dengan Ayah dan Adik Zeline membuat mereka banyak diam diperjalanan pulang. Tidak seperti Yoan, isak tangisnya terus terdengar sedari tadi, Piter yang menyetir disampingnya tak berani berkata apa-apa, ia tau bagaimana perasaan Yoan saat ini.
Piter, Teo dan Vion pun merasakan hal yang sama. Namun, sebagai laki-laki mereka tak akan menangis. Jika mereka menangis, siapa yang akan menghibur Yoan? Satu-satunya perempuan yang bersama mereka setelah Zeline pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD REPUTATION [on going]
Teen FictionTentang empat remaja penuh dendam yang berusaha mendapatkan keadilan atas kematian sahabatnya. Zeline, yang ditemukan tewas tak bernyawa bersama minuman matcha kesukaannya. Kasusnya ditutup tanpa keterangan jelas, meninggalkan banyak sekali kejangg...