Persiapan untuk Pesta Pernikahan

186 15 22
                                    

Hari yang berganti sore pun membuat Albus dan yang lainnya harus pulang dari waktu mereka bersantai di café bersama. Pertama kalinya Albus datang dengan rekan-rekannya di Hogwarts, tidak seperti biasanya dimana dia biasa pergi sendirian ataupun dengan murid-muridnya yang sudah dewasa kini.

Gellert pun menoleh disaat mendapati Albus dan yang lainnya mulai bangkit dari meja. Seraya masih berbincang, mereka berjalan ke konter dengan santai dan penuh tawa.

"Aku ke belakang dulu."

Gellert menoleh mendapati pemilik café menoleh dari balik bahunya seraya membawa beberapa peralatan makan dan minum yang kotor di atas nampan yang dipegang olehnya.

"Bisa kuserahkan padamu bukan?"

"Tentu." Gellert pun mendapati sosok pemilik café menghilang di balik pintu pelayan dan staf. Suaranya yang bergumam menyanyikan nada-nada pun mulai terdengar.

Gellert menoleh untuk menatap Albus yang hanya mendengarkan kedua saudaranya yang muda itu berbincang dengan bahagia dengan rekan sesama guru di Hogwarts yang sudah lebih lama mengajar dibandingkan keduanya. Selama berada di café, dia bisa melihat Albus terus mencuri pandang ke arahnya. Gellert tidak tahu artinya, namun kelihatannya Albus membutuhkan sesuatu darinya, dan tidak bisa mengatakannya terang-terangan selama rekan-rekannya disana.

Gellert berpikir untuk mengajaknya bicara sebelum mereka benar-benar jauh dari café ini.

"Bisa kuminta tagihannya?" Albus mengulurkan tangan pada Gellert yang sudah menunggu di mesin kasir.

"Tentu."

"Tunggu, Dumbledore!"

Mereka menoleh mendengar suara Professor Hicks yang agak nyaring di café mereka yang cukup sepi itu. Albus dan Gellert sendiri mengerjap beberapa kali.

"Aku yang mengajakmu dan juga adik-adikmu kemari. Seharusnya aku yang membayarnya."

Aberforth dan Ariana memasang ekspresi tak setuju pada wanita yang penuh semangat dan antusias itu.

"Tunggu, Professor Hicks!" Ariana mengeryit tanpa ragu.

"Kami sendiri ingin melihat-"

Hingga suara Albus yang tenang itu terdengar.

"Professor Hicks."

Ketiganya menoleh pada Albus yang tersenyum. "Izinkan saya membayar untuk kalian semua disini." Albus mengedikkan bahunya.

"Kalian orang-orang yang kuanggap penting dan berharga."

Keempat orang yang datang bersama Albus hanya bisa membelalakan matanya. Gellert sendiri sudah tersenyum saat melihat reaksi yang ditunjukkan rekan-rekan Albus saat mendengarnya. Albus pun menoleh dan mendapati Gellert sudah mengulurkan tagihan padanya.

"Kau bisa menunggaknya bila kau kehabisan uang, professor."

Albus mendongak saat Gellert tersenyum jahil pada sang professor. Apalagi setelah melihat tagihan di kertas yang ada di tangannya. Hal itu tentu saja, membuat Albus menahan kekesalan seolah dia sedang diremehkan oleh temannya sendiri.

"Aku jadi ingat kau pernah mengatakan perihal ini."

Gellert mengedikkan bahu. "Saat kau kumat dan mengurung diri di dalam kantormu sendiri?"

Albus menahan kekesalan saat Gellert mengingatkannya. Keempat orang di belakangnya hanya bisa mengerjap mendapati keduanya berbincang layaknya teman lama, hingga sahabat lama. Walau status Albus masih lebih tinggi dibandingkan Gellert, pelayan itu bisa membuat Albus yang merupakan seorang professor merasa kesal sekaligus diremehkan.

Never too Late to Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang