Malam Ruelle selalu dihiasi dengan mimpi buruk.
Dia terbangun untuk yang ketiga kali malam ini. Napasnya memburu, keringat dingin mengalir di pelipis. Dengan tangan gemetar, dia meraih sebuah pion agate hitam dari meja, lalu mengambil belati yang dia sembunyikan di balik bantal. Soren sedang tidak ada dan Ruelle harus waspada.
Akhirnya, Ruelle kembali berbaring. Dia takut berpejam, tetapi memaksa kelopak matanya mengatup, mencoba untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari kepalanya. Energi yang mengalir dari agate hitam itu membuat otot-otot Ruelle menjadi rileks. Selang beberapa waktu, napasnya menjadi lebih teratur dan detak jantungnya melambat. Dia tahu, batu alam dari buah catur milik Lady Ysabelle bisa membantu. Maka, dia mengambil satu untuk berjaga-jaga.
Untunglah.
Kelopak mata Ruelle terasa berat. Tubuhnya tidak lagi tegang. Ruelle merasa, kali ini mimpi buruk itu tidak akan datang. Mungkin, dia tidak akan bermimpi apa-apa. Tidak jadi soal walau dia harus tidur sambil memeluk pion agate dan belati jika itu dapat memberinya perasaan aman.
Tingkat kesadaran Ruelle berada di titik rendah, tetapi dia bisa mendengar pergerakan angin yang tiba-tiba dari pintu kamarnya. Jantung Ruelle kini secara gradual berdetak lebih cepat. Kantuknya lenyap, dia terjaga dengan mata tertutup. Sepuluh detik kemudian, ranjang Ruelle bergerak pelan. Seseorang telah naik dan berusaha menjangkau Ruelle. Serta-merta, Ruelle membuka mata, mendapati sosok laki-laki berpakaian serba hitam berada tepat di atasnya.
Ruelle menyibak selimut, mengayunkan tangan kanan yang bersenjata belati perak kepada si penyusup. Tangan bersenjata Ruelle nyaris menebas leher penyusup itu. Si penyusup terkesiap dengan respons siap Ruelle. Dia terhuyung mundur dan Ruelle memanfaatkan kelengahan si penyusup untuk meraih satu belati dari lipatan gaun malamnya. Pergulatan itu amat sengit dan secepat kilat. Tak lebih dari dua menit, Ruelle telah berhasil melukai paha, lengan, dan pundak si penyusup. Darah mengucur deras mengotori ranjang Ruelle.
Lalu, Ruelle kembali menyabetkan belatinya lagi hingga topeng yang si penyusup kenakan terlepas dan melukai wajah bercambangnya. Ruelle menodongkan belatinya di leher si penyusup yang terkejut dan ketakutan.
"Siapa yang mengirimmu?" Suara dingin Ruelle membuat tubuh si penyusup menggigil. Namun, laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Ruelle.
Ruelle berdecak. "Sejujurnya aku tidak peduli siapa yang mengutusmu. Kau tetap akan mati di tanganku."
Belati di tangan kanan Ruelle menusuk dalam, bersiap menyayat nadi leher penyusup itu. Akan tetapi, sebuah suara menginterupsi. Sekonyong-konyong, Ruelle membeku.
"Cukup."
Viridian muncul dari kegelapan. Sinar bulan yang masuk lewat jendela kaca menerangi kamar remang Ruelle. Gadis itu menggertakkan gigi tanpa mengalihkan pandangan dari wajah kesakitan si penyusup, atau pun menjauhkan belatinya yang telah melukai leher si penyusup.
"Aku yang memerintahkannya. Sekarang, lepaskan dia."
Ruelle tidak bergerak satu senti pun dari atas tubuh si penyusup. Kemarahan menguasainya bagai ribuan ngengat yang mendatangi cahaya.
"Duchess, lepaskan Hamnet."
"Kau berusaha membunuhku?" Suara Ruelle bergetar saking murkanya. Dia menolak untuk menatap langsung kepada Viridian.
"Tidak. Kau yang nyaris membuat Hamnet meninggal kehabisan darah."
Si penyusup mengeluarkan rintihan samar, tetapi Ruelle tidak peduli. Dia bangkit dari tubuh si penyusup, menerjang ke arah Viridian sambil menodongkan belati. "Kau berniat membunuhku!"
Viridian menangkis serangan Ruelle yang bertubi-tubi. Nyaris saja wajahnya tergores belati Ruelle. Pria itu akhirnya berhasil memukul pergelangan tangan Ruelle sampai belatinya jatuh. Dalam gerakan cepat, Viridian telah mengunci kedua tangan Ruelle ke belakang tubuh. Roman mukanya terlihat dipenuhi perasaan campur aduk ketika memandang ekspresi penuh kebencian Ruelle. Si penyusup telah meninggalkan kamar dengan langkah tertatih, meninggalkan jejak berdarah di ranjang dan lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
2nd Project - Irrepressible
RomanceBanyak yang mewanti-wanti agar kita teguh pada diri sendiri supaya tidak dipermainkan oleh takdir. Memang, siapakah takdir? Kenapa seenaknya menyuruh para manusia tak bisa berontak dan hanya pasrah mengikuti alur? Apakah ia yang memaksa Ruelle meni...