Pada saat itu matahari sudah agak meninggi dari persembunyian sejak kaki kecil Chalia berlari. Degup jantungnya liar, turut menggetarkan seluruh tubuhnya. Tangannya berkonsistensi memegang keliman gaun untuk mengurangi kemungkinan dirinya akan terjerembap karena kain pakaiannya yang menjuntai. Bersamaan semua itu, helaan napasnya terburu-buru di pinggir Hutan Fleia.
Bibir ranumnya terasa nyeri sebab gigitan kecilnya sendiri, menahan semua rasa yang begitu sakit dia tahan. Sayang, dia memang harus menahan semua perasaan yang dirinya punya hak atas itu, bahkan perasaan untuk lepas dari kungkungan yang menyesakkan. Rasa takut muncul dan menjerat seketika saat ia meletakkan sendok berlumuran sedikit saus Alfredo³ di atas piring dan mendengar ucapan Countess Vivianne.
"Putri ibu yang manis, bersiap-siaplah," kata ibunya, mengusap lengan mungil Chalia, "Madam Aviona, guru dari istana kaisar akan datang nanti. Beberapa saat setelah makan pagi." Sontak saja perutnya langsung merasa tak nyaman-seolah ada pisau yang telah didiamkan di antara balok es menusuknya cepat.
Tadi malam dan malam sebelumnya, Chalia sudah berusaha menghafalkan sepuluh asas wanita bangsawan Trejan, lima ikrar suci permaisuri Trejan dan aturan wajib melayani tamu kaisar sebagai ibu kerajaan yang diajukan Madam Kale, bahkan di antara padatnya materi kelas pembelajaran yang berdesakkan dalam otak kecil Chalia. Sekurang-kurangnya tiga puluh halaman buku besar yang harus Chalia hafalkan dalam kurun waktu yang singkat.
Chalia memang sudah dibiasakan mengerjakan tugas dengan cepat, hanya saja dia tetaplah anak kecil yang butuh setidaknya seembus angin untuk memberi rongga di waktu-waktunya. Dia bahkan hanya tidur satu sampai dua jam ketika fajar mendekat demi menghafalkan semua itu. Namun, betapa khawatirnya dia saat dalam perjalanan menuju ruang makan untuk sarapan, memorinya masih belum lancar untuk membunyi-bunyikan kata-kata yang dihafalkannya.
"Kau belum siap, Chal!" Hati kecilnya berteriak, segenap ruh dia sadar bahwa dirinya melenggang diam-diam dari perpustakaan dan kini irisnya jelas menjumpai sebuah gudang tidak terlalu besar yang agaknya terbengkalai-lelumutan yang menyelimuti dinding sepinggangnya membuat dirinya berkesimpulan demikian.
Mendadak dia memutar tubuhnya ke belakang, tampak sebagian tubuh bangunan kediaman Arnaldus yang kokoh dan menawan. Lalu berbalik lagi, menatap pintu besar berjarak beberapa langkah darinya. Gaunnya terombang-ambing kecil saat perlahan-perlahan dia kembali berjalan, mendekati pintu bercat cokelat pudar itu.
Sedari bertemu dengan gudang itu, dalam hati Chalia sudah menambatkan niat bahwa dirinya akan bersembunyi di sana sampai petang, tetapi telinganya tiba-tiba mendengar isakan yang membuat alisnya langsung bertaut, benaknya dipenuhi tanda tanya. Sekonyong-konyong pikirannya langsung berkeliaran jauh yang membuatnya panik, seketika memukul berulang engsel pintu yang terkunci itu sampai akhirnya suara gebrakan yang memekakkan telinga terdengar akibat benturan pintu dengan dinding.
Di dalam sudut gelap sana, terlihat oleh Chalia seseorang bertubuh kecil-walau sedikit lebih besar darinya-meringkuk, menyembunyikan wajah di antara tumpuan paha yang berdiri dan perut. Sementara bocah berambut cokelat kehitaman itu sedikit mengangkat kepalanya dengan sela di tengah ruang kosong lutut untuk mengetahui siapa yang telah menggebrak pintu. Sekujur pelipisnya langsung dialiri keringat dingin, dan pipi putihnya kian basah karena tercampur oleh likuid hangat dari matanya.
Derap kaki Chalia bergema begitu dia berjalan mendekat. Entah sejak kapan ia menyadari, tetapi segera ia buka sedikit salah satu dari dua jendela bambu hingga sorot menyilaukan matahari menembus masuk. Manik yang dipenuhi kilat tanya itu menatap lurus seseorang yang rupanya bocah laki-laki kecil yang telah ia potong jarak antara mereka. Maka dengan tetap meningkatkan rasa waspada, Chalia maju lagi hingga akhirnya sampai di sisi nyaris dekat bocah itu. "Kau siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
2nd Project - Irrepressible
RomansaBanyak yang mewanti-wanti agar kita teguh pada diri sendiri supaya tidak dipermainkan oleh takdir. Memang, siapakah takdir? Kenapa seenaknya menyuruh para manusia tak bisa berontak dan hanya pasrah mengikuti alur? Apakah ia yang memaksa Ruelle meni...