Kereta kuda dengan lambang Keluarga Géricault bergoyang melintasi jalanan ibukota yang ramai. Dalam perjalanannya menuju istana kekaisaran, iris Guinevere senantiasa terpaku ke luar jendela. Lengan gadis itu memeluk sebuah buku dengan erat. Dia sudah cukup lama melakukan rutinitas ini setiap Minggu sore, yaitu mendongeng untuk anak-anak bangsawan di istana kekaisaran. Hatinya selalu bergegap gempita, bahkan sedari sehari sebelum Minggu tiba. Suasana hati Guinevere bakal sangat bahagia, terlebih mendengar senyum-senyum kecil yang terlukis alih-alih di kesibukan harian mereka.
Selain itu, satu hal yang membuat perasaannya dipenuhi bunga-bunga bermekaran adalah karena dia bisa bertemu dengan pujaan hatinya yang menawan, Pangeran Jeong.
Akan tetapi, dengan cepat wajah Guinevere berubah lesu. Dia merasa tidak nyaman dan menduga canggung melanda ketika harus bertemu dengan pangeran itu. Mengingat terakhir kali, mereka berdua bertengkar cukup hebat.
Guinevere menghela napas panjang kala kereta berhenti di depan pelataran istana. Rose memegangi tangannya ketika dia hendak turun dari kereta. Mereka berjalan beriringan. Beberapa pelayan yang berpapasan dengan Guinevere membungkuk hormat. Dia bergegas pergi menuju taman tempat diadakannya acara mendongeng hari itu.
"Nona Muda Guinevere Géricault!" Sebuah panggilan tertangkap oleh telinganya begitu kakinya mulai menginjak rerumput. Guinevere menoleh. Seorang lelaki dengan senyum cerah dan sudut-sudut wajah familier membuat detak jantung Guinevere berpacu amat cepat. Nyaris saja Guinevere melempar dirinya ke dalam pelukan lelaki itu ketika sadar akan sesuatu.
Dia Pangeran Julian, bukan Pangeran Jeong.
Pangeran Julian menunduk dan Guinevere membalasnya sekaligus mengangkat keliman gaun.
"Pangeran Julian. Apa ada yang bisa kubantu?" Guinevere mengangkat pandangannya lagi. Wajah yang sangat mirip dengan Pangeran Jeong itu membuat setitik rindu merayap di dada Guinevere.
"Tidak ada, aku hanya menyapamu. Apa hari ini adalah jadwalmu untuk mendongeng?" Tampak Julian mencuri-curi pandangan dengan buku yang dibawa Guin.
Gadis itu mengangguk. "Ya, hari ini adalah waktunya," ucap Guinevere tanpa melenturkan senyumnya.
Pangeran Julian manggut-manggut. Dengan wajahnya yang sedikit merah, kemungkinan karena malu. Setelah berdeham, dia pun berujar, "Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu"
"Baiklah." Jawaban singkat Guinevere membuat Pangeran Julian menyunggingkan senyum senang. Mereka pun berjalan beriringan sambil saling melemparkan konversasi ringan.
Sesampainya di taman, Guinevere menghadapkan tubuh kepada Pangeran Julian. "Terima kasih sudah mengantarkanku, Pangeran." Dia mengangkat keliman gaun. Sedangkan sang pangeran membalasnya dengan membungkuk.
"Aku akan menemanimu, Nona," ujar Pangeran Julian.
Guinevere kebingungan sejenak. Dia mengerjap beberapa kali. "Apa?"
"Aku penasaran dengan cerita apa yang akan kau bacakan hari ini, selain itu aku ingin mendengarkanmu mendongeng."
Iris kuning pudar Pangeran Julian tampak berbinar-binar dan Guinevere terpesona untuk sesaat. Dia jadi ingat mata anak anjing Pangeran Jeong.
"Jika Pangeran tidak merasa terganggu, maka aku dengan senang hati akan mempersilakanmu," jawab Guin, alisnya sedikit menaut. Lantas, mereka berdua melngkah ke taman terbuka yang sudah dipenuhi oleh para putra dan putri bangsawan.
"Tuan Putri datang! Tuan Putri datang!" Anak-anak langsung riuh begitu melihat Guinevere datang. Mereka gegas mengambil posisi paling nyaman untuk mereka duduk. Wajah mereka sangat riang karena akhirnya yang ditunggu-tunggu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
2nd Project - Irrepressible
RomanceBanyak yang mewanti-wanti agar kita teguh pada diri sendiri supaya tidak dipermainkan oleh takdir. Memang, siapakah takdir? Kenapa seenaknya menyuruh para manusia tak bisa berontak dan hanya pasrah mengikuti alur? Apakah ia yang memaksa Ruelle meni...