Saat itu Chalia berusia enam tahun ketika sang ibu berkata bahwa kelak dirinya akan menjadi permaisuri Trejan. Chalia tidak mengerti apa pun, menganggap bahwa semua itu hanya lelucon. Namun, setelah dia pikir-pikir lagi, mungkin benar kalau setidaknya setengah dari gadis-gadis Trejan bakal bermimpi untuk menjadi wanita nomor satu di Imperium, tidak termasuk dirinya sebab hal tersebut kedengaran sangat memabukkan sekaligus menakutkan.
Awalnya, Chalia tidak pernah membayangkan tentang itu. Hanya saja, masa kecilnya lambat laun makin menyiksa. Semenjak lelucon sang ibu tentang menjadikan Chalia seorang permaisuri, rutinitas gadis cilik itu disibukkan dengan hal-hal penuh pembelajaran tata krama serta kekaisaran. Kata Countess Arnaldus, wanita bangsawan sejati harus ditempa sejak dini dan menurutnya Chalia adalah salah satu contoh sempurna. Banyak orang yang setuju, termasuk Count Arnaldus, ayah Chalia. Jadi, dia mulai membiasakan diri dengan penempaannya menjadi calon yang layak.
Gadis kecil itu selalu didera perasaan tertekan sebab sedari pagi dia diharuskan menjalani pendidikan kebangsawanan. Bahkan, tak jarang dia melupakan sarapan paginya karena bangun kesiangan—takut terlambat masuk kelas, memilih untuk melewatkan mengisi perutnya terlebih dahulu sebab khawatir dengan konsekuensi yang akan dia hadapi. Chalia berusaha untuk berhati-hati mengerjakan semua tugas, sama sekali tidak berpikir untuk melakukan kesalahan.
Dia harus sempurna seperti kata ayah dan ibu. Dia harus menjadi yang terbaik. Dia harus menjadi sang permaisuri. Berulang-kali kata-kata itu melecut dirinya sendiri.
Meski anak sekecil dirinya diharuskan mempelajari banyak hal seperti cara minum teh, cara makan dengan sopan serta anggun, berbicara kepada tamu, bahkan berjalan dengan postur tegak dengan sempurna, Chalia berusaha menerima takdirnya dengan lapang dada. Di samping itu, dia pun mempelajari sastra, menyulam, melukis, dan bermain musik. Memang itu menjadikan hidupnya seperti dikejar-kejar, selalu ketakutan akan melakukan kesalahan saat hal itu terjadi, atau akan dihukum dengan kejam, berdiri di atas balok kayu dengan seimbang untuk memperbaiki postur tubuh, misalnya. Lalu, Lady Miranda Beamount akan berucap, "Berdirilah dengan benar, Nona Chalia." Atau dipaksa melakukan pekerjaannya menjadi dua kali lipat. "Lakukan pekerjaanmu sekarang juga, Nona." Suara Lady Miranda begitu tajam dan membuat bulu kuduk Chalia meremang seketika. Tanpa mampu melawan ataupun mengajukan protes, Chalia segera mengerjakannya dengan setengah hati.
Lama-lama, Chalia merasa hal tersebut sepadan sebab untuk mencapai setiap hal yang diinginkan pasti diiringi dengan sebuah perjuangan. Dalam hati, kadang kala dia berpikir seperti itu, tetapi tidak saat ini. Chalia merasa sesak seolah-olah dadanya sedang diimpit batu besar. Dia seolah-olah tidak bisa bernapas dengan benar.
Iris cokelat kemerahan milik Chalia mengerjap cepat kala melihat papan kayu keseimbangan masa kecilnya sambil berdiri dengan punggung tegak bagaikan ada penggaris besi di tulang belakangnya. Tatapan si gadis jelita lurus ke depan dengan pandangan gelisah. Dalam beberapa hari, terhitung dari hari ini, dia akan memasuki istana dan menjalani pendidikan final tentang kewajiban permaisuri kekaisaran bersama dua kandidat lain. Kecemasan dan ketakutan yang semula dia sembunyikan mati-matian menyeruak ke permukaan. Mimpi buruk bertandang di malam-malamnya.
Putri ketiga Count Arnaldus itu mencengkeram keliman roknya. Dadanya berdegup kencang saat membayangkan dirinya akan segera meninggalkan rumah. Jadi, dia memberanikan diri menghampiri sang ibu, Countess Vivianne Mary.
"Ibu." Telapak tangan Chalia mendingin.
Contess Vivianne mengukir sebuah senyuman sehangat mentari. "Oh, putri kesayanganku yang amat manis! Ada apa, sayangku? Apakah semuanya baik-baik saja? Ibu sedang memeriksa barang bawaanmu sebelum diangkut ke istana. Oh, sayangku, lihat betapa cepat kau tumbuh menjadi seorang gadis yang akan menikah."
Chalia merasakan kehangatan ketika sang ibu mengusap lembut pipinya. Dia berpejam kemudian menggenggam jemari sang ibu. Suaranya bergetar saat berkata, "Aku takut, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
2nd Project - Irrepressible
RomansaBanyak yang mewanti-wanti agar kita teguh pada diri sendiri supaya tidak dipermainkan oleh takdir. Memang, siapakah takdir? Kenapa seenaknya menyuruh para manusia tak bisa berontak dan hanya pasrah mengikuti alur? Apakah ia yang memaksa Ruelle meni...