Pemandu

418 25 6
                                    

Warning(s) : Alternate Universe, sedikit hints TaufanxYaya, dan HalilintarxYing, horornya dikit, dramanya banyak.

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

.

.

.

"Kita udah sampai belum, sih?"

Tubuh gempal pemuda yang berjalan di barisan belakang tampak lunglai di bawah cahaya matahari pagi yang belum terlalu terik. Botol minum melayang, nyaris mengenai kening pemuda itu —Gopal— dengan telak jika ia tak sigap menangkapnya.

"Sekali lagi nanya, kugelindingin kamu sampai ke bawah," sungut Halilintar jengkel. Ia berjalan paling depan, memimpin keenam temannya yang lain. Rambut hitamnya sedikit berkibar tertiup angin, sementara sepasang netra gelapnya menatap tajam ke jalanan menanjak di depan.

"Jangan galak gitu, dong. Aku 'kan cuma nanya," cibir Gopal. "Kita 'kan udah jalan lumayan lama! Kenapa belum juga sampai?"

"Baru juga dua puluh menit, duh." Taufan yang berjalan tepat di depan Gopal memutar mata.

"Udah dibilangin kamu diam di penginapan aja," tukas Ying. "Kalau ikut pasti kamu ngeluh terus."

"Kalau aku di penginapan kalian juga pasti maksa ikut, kan?" Gopal menggerutu, sesaat kemudian ia bergidik. "Lagian emang kalian nggak ngerasa kalau penginapannya serem? Masa semalem ada suara orang cuci piring di dekat kamar kita, padahal dapurnya di bawah! Kan aneh."

"Bukan kali. Itu Fang yang lagi ngasah pisau sama gunting," sahut Yaya yang berjalan tak jauh di belakangnya.

"Hah? Buat apa?"

"Buat ngempesin perut kamu kalau masih bawel." Taufan tergelak, disahut yang lain. "Oh iya, Fang, kamu pernah naik gunung ini, 'kan? Kita seriusan nih nggak pakai pemandu?"

"Nggak usah," sahut Fang singkat. Ia meneguk air dari botol dan menyipitkan mata menatap matahari yang mulai beranjak naik. "Lagian gunungnya nggak tinggi-tinggi amat. Sebelum malam kita harusnya udah bisa balik ke bawah."

"Kalau kalian kebanyakan ngobrol kayaknya kita malah bakal nyampe ke atas besok pagi," gerutu Halilintar. Ia tampak jengkel dengan gerakan mereka yang cenderung lambat.

"Hali kok sewot terus dari tadi, sih? Lagi PMS?" tanya Gopal.

"Eh, tau aja. Tadi pagi kayaknya Hali lupa minum Kiranti yang kubawain, deh. Makanya jadi badmood terus, ya?" Taufan tergelak, puas meledek saudaranya.

Halilintar memutar mata. Ia tak punya sesuatu untuk dilempar pada Taufan, sementara adik kembarnya itu masih terus tergelak.

"Gempa, kamu gantian jaga depan," Halilintar memberi perintah.

Gempa yang sejak tadi hanya diam menikmati pemandangan dan udara segar pegunungan menoleh ke depan. "Hah? Kok aku? Tadi katanya kamu yang mau jaga di depan."

"Bilang aja takut," Taufan mencibir. "Pasti Hali was-was kalau mendadak di depan nanti ada yang cegat, 'kan?"

"Hush, Taufan! Jangan ngomong gitu," tegur Ying yang berjalan di depan Taufan. "Ini gunung, nggak boleh sembarangan ngomong. Nanti kamu kena beneran, lho!"

"Kena apaan? Kalau kena tai burung sih udah dari tadi," Taufan menunjuk noda di lengan jaketnya.

"Mampus, lu. Syukurin!" Gopal tertawa terbahak-bahak, sampai Ying harus memukulinya dengan ransel agar diam.

"Aku serius, lho. Jangan kebanyakan bercanda di sini, deh. Nanti malah kenapa-napa lagi."

"Apaan sih, Ying. Kamu jangan kebanyakan nonton film horror deh. Lagian sekarang itu—"

Jalur MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang