Berhenti

136 17 13
                                    

Warning(s) : Alternate Universe, sedikit hints TaufanxYaya, dan HalilintarxYing, horornya dikit, dramanya banyak.

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

.

.

.

Fang melangkah dengan perasaan resah. Ia hampir tidak bisa lagi berpura-pura tenang. Kejadian barusan benar-benar membuatnya panik setengah mati. Bagaimana kalau setelah ini ada temannya yang hilang lagi? Bagaimana kalau apa yang ia alami tahun lalu kembali terulang, tapi kali ini dengan temannya-temannya menjadi korban?

Satu tetes air turun jatuh di hidungnya, membuat Fang mendongak. Pelan-pelan, ribuan tetes air menyusul jatuh dari langit.

"Temen-temen, kita neduh sebentar, ya!" seru Fang. "Yang punya jas hujan langsung dipakai aja. Tapi kita neduh sebentar karena Taufan nggak bawa jas hujan. "

Mereka menepi sejenak dan segera mengeluarkan jas hujan dari tas masing-masing, kecuali Taufan. Ia terpaksa hanya mengandalkan jaketnya untuk melindungi diri dari terpaan hujan dan juga angin yang mulai bertiup kencang.

"Oh, iya. Aku juga bawa payung," kata Yaya, merogoh tasnya cepat-cepat agar air tidak sampai masuk. "Nih, Taufan. Buat kamu aja."

"Kamu pakai aja. Aku nggak apa-apa," tolak Taufan saat disodori payung oleh Yaya.

"Nggak apa-apa gimana? Nanti yang ada kamu masuk angin kalau kehujanan. Terus malah ngerepotin yang lain," omel Yaya.

"Bilang aja kamu khawatir sama aku, kan?" Taufan nyengir, sementara Yaya memutar bola matanya. Ia menerima payung pemberian Yaya dan membukanya, merasa sedikit lega karena bisa terlindung dari hujan.

"Tuh, Taufan udah ada payung," tukas Gopal. "Kita mau istirahat dulu atau lanjut, nih?"

"Kalian gimana? Mau lanjut atau istirahat?" tanya Fang.

"Lanjut aja. Kita masih harus ngejar waktu sampai ke puncak, 'kan?" Kata Yaya, memakai tudung jas hujannya.

"Iya, sih." Fang mendongak ke atas. "Ya udah, kalau gitu kita lanjut. Karena hujan, jalannya jadi licin, hati-hati. Dan inget, jangan sampai ada yang jalan sendirian ya?"

"Oke!"

Fang kembali memimpin jalan. Kali ini mereka berjalan lebih lambat, berhati-hati agar tidak tergelincir. Semakin mendekati puncak, jalan yang mereka lalui semakin terjal. Tanah halus sudah digantikan batu-batu. Meski begitu, pohon di sekitar mereka justru semakin merapat dan mengurung mereka dari segala sisi. Harusnya hari masih siang, tapi karena langit mendung dan juga pepohonan, suasana justru terlihat seperti menjelang malam.

"Gelap, ya?" Yaya menggumam. Rintikan hujan nyaris membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depannya.

"Kamu hati-hati dong, Ya." Taufan menahan lengan Yaya yang nyaris terpelet. "Jangan sampai jatuh, nanti kamu malah nggak bisa jalan sampai puncak."

"Kamu gendong aku dong kalau aku nggak bisa jalan," balas Yaya asal.

"Aku sih mau-mau aja. Tapi dengan jalan licin kayak gini, yang ada aku juga ikutan jatuh dan kita berdua bakal menggelinding sampai ke bawah sana. Mau?"

Yaya mencibir, tapi ia menahan komentarnya dan memilih menyimpan napas untuk tetap bisa meneruskan langkah.

Setelah perjalanan yang dirasa memakan waktu berjam-jam, mereka akhirnya berhenti. Puncak belum juga kelihatan, tapi mereka semua sudah kelelahan dan menggigil dalam balutan jas hujan masing-masing. Taufan bahkan sudah basah kuyup karena payung tak banyak membantu melindunginya dari hujan yang disertai angin.

Jalur MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang