Berpencar

167 18 8
                                    

"Jalur Merah – Chapter 4 : Berpencar"

Fanfiction by Dramaquenns

Warning(s) : Alternate Universe, sedikit hints Taufan x Yaya dan Halilintar x Ying, horornya dikit, dramanya banyak, bahasa dialog non-baku.

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

.

.

.

"Eh?"

Ying dan Yaya ikut menoleh ke belakang dan terkejut mendapati tidak ada siapapun di belakang mereka.

"Lho, mereka bukannya tadi di belakang kita?" Mata Ying langsung melebar cemas. "Tadi mereka masih bercanda, 'kan, Ya?"

"Iya." Yaya mencari sekeliling, siapa tahu Taufan dan Gopal tengah mampir ke pohon terdekat untuk buang air. "Tadi mereka masih berantem kok di belakang kami."

"Sialan." Halilintar berdecak kesal. "Mereka ngapain sih pakai acara hilang-hilangan segala! Udah dibilangin jangan sampai berpencar."

Halilintar menggenggam tangan Ying, membuat gadis itu tersentak.

"Pegangan tangan semuanya," ia berseru. "Mending kita balik dulu, siapa tau mereka emang ketinggalan di belakang. Nyusahin aja sih."

Gempa dengan canggung memegang tangan Yaya, lalu mereka bergegas menyusul Halilintar dan Ying. Mereka berjalan kembali menyusuri jalan berlumpur yang tadi mereka lewati. Ying beberapa kali nyaris terpeleset karena mengikuti langkah Halilintar yang terburu-buru. Namun bahkan setelah sampai kembali di pondok, Taufan dan Gopal tidak kelihatan.

"Ya ampun, kalau mereka nyasar gimana?" Ying berujar panic, meremas tangan Halilintar kuat.

"Gimana bisa nyasar, sih?" Halilintar berdecak. "Tadi bukannya mereka jalan tepat di belakang kita?"

"Mereka ke mana sih sebenarnya?" Gempa berusaha menerawang di tengah pekatnya malam. "Bukannya bantu cari Fang, malah ikut-ikutan ngilang."

"Sekarang kita harus gimana?" Yaya bertanya gelisah. "Kita nggak bisa liat jalur dengan jelas. Dan kalau nunggu di sini cuma buang-buang waktu, belum tentu juga mereka balik ke pondok."

"Gimana kalau kita mencar aja?" usul Gempa setengah hati.

"Jangan bercanda. Yang ada nanti makin banyak yang hilang," tukas Halilintar. "Kita tetap lanjut cari mereka aja. Pasti mereka belum jauh dari sini. Ayo."

Halilintar kembali menggenggam tangan Ying, yang juga menggenggam tangan Yaya, dan Yaya yang menggenggam tangan Gempa. Mereka berempat segera melangkah beriringan dipimpin Halilintar.

"Kita sekarang ke mana?" bisik Ying. Ia merasa semakin gelisah dengan kegelapan yang terlalu mencekam di sekitar mereka.

Halilintar menyorotkan senter di ponselnya ke tanah. Matanya menyipit di antara kegelapan.

"Harusnya sih ada jejak kaki. Tapi nggak keliatan, ya?" gumamnya.

"Ya mana keliatan kalau gelap begini," sahut Ying, ikut melongok. "Lagian pasti udah ketutupan sama jejak kaki kita juga karena kita balik lagi, 'kan."

Halilintar menghela napas. Kabut putih tipis menguar dari mulutnya karena udara yang nyaris membeku. Sejujurnya tangannya yang tanpa sarung tangan sudah bergetar karena malam bertambah dingin.

"Coba kita panggil, siapa tahu nanti mereka nyahut," usul Yaya ragu.

"Jangan," cegah Halilintar. "Fang pernah bilang untuk nggak berisik kalau di alam, nanti malah ada— eh, kalian bilang tadi Gopal sama Taufan bercanda? Bercanda apa?"

Jalur MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang