Permulaan

155 22 5
                                    


Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.

.

.

.

"Yakin lewat sini?" Halilintar menaikkan alis, sedikit menyangsikan pilihan Fang. Ia sempat memandang papan petunjuk usang yang tak lagi bisa dibaca di persimpangan tadi sebelum mereka berbelok.

"Iya, lewat sini," kata Fang. "Bentar lagi kita sampai, kok. Tenang aja."

Yang lain hanya mengangguk. Mereka sudah terlalu lelah untuk bicara dan ingin cepat-cepat tiba di puncak. Jadi tak ada yang bertanya lagi sementara mereka kembali menyusuri hutan.

Fang menoleh pada teman-temannya yang serius berjalan. Menghela napas, ia meneruskan langkah dengan tetap memimpin di depan. Sejauh ini tidak ada yang curiga. Tidak ada yang bertanya mengapa jalan setapak yang mereka lalui ini semakin sepi saja. Bahkan suara burung tidak lagi terdengar.

"Kalau capek bilang, ya, supaya bisa istirahat," pesan Fang.

"Belum, kok," Yaya menyahut, napasnya terengah-engah. "Emangnya kita masih jauh dari puncak, ya?"

"Nggak sih, tapi siapa tau kalian mau istirahat. Makin ke atas, makin susah jalurnya."

"Nggak usah istirahat. Mau cepat-cepat sampai," kata Taufan di sela napasnya yang terengah. "Ini jalannya bener nggak, sih? Kok belum sampai juga? Kalau nyasar gimana?"

"Nggak bakal nyasar, lah. Fang kan tau jalan," kata Ying. Ia sudah melepas kuncir rambutnya dan berganti dengan gelung berantakan di puncak kepalanya untuk mengatasi gerah dan keringat. Kacamata disimpan di saku. Ying hanya memakainya sebagai aksesoris, dan matanya masih bisa melihat cukup jelas.

"Tapi Fang cuma pernah ke sini sekali, 'kan? Kamu yakin masih ingat jalannya, Fang?" tanya Halilintar dengan mata menyipit. Sejak tadi hanya Halilintar yang terus meragukan jalur mereka.

Fang menghela napas lelah. "Ya, iyalah, aku masih inget. Aku yakin kok kita emang lewat jalan ini."

Pemuda itu kembali berjalan, diikuti yang lain. Sementara Halilintar diam-diam mengawasi punggung Fang yang berjalan di depan. Ia sedari tadi tidak berkomentar, tapi Halilintar yakin ia sempat melihat petunjuk arah baru di persimpangan yang menunjuk ke jalan setapak satunya —bukan yang mereka lalui ini. Ia menarik tas Ying yang berjalan tepat di depannya, membuat gadis itu terkejut.

"Kamu yakin kita lewat sini?" bisik Halilintar pelan agar tidak kedengaran yang lain.

"Yakin, lah. Kan Fang yang bilang kita emang lewat sini," sahut Ying.

"Terus kamu percaya?" tanya Halilintar.

"Kenapa harus nggak percaya?" Ying mengangkat sebelah alisnya. "Fang 'kan emang pernah ke sin. Lagian dia juga ngapain bohong sama kita? Kalau lupa ya dia pasti ngomong, lah."

"Tapi ... kayaknya emang bukan lewat sini, deh." Gempa yang berjalan di belakang Halilintar, ikut menyahut. "Kalian nggak ngerasa ini terlalu sepi buat jalur mendaki? Nggak ada orang yang lewat atau nyusul kita dari tadi, padahal di bawah tadi masih rame, lho."

"Lagi pada istirahat kali," komentar Taufan, yang tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ia meraba-raba ranselnya untuk mencari minum, lalu ingat botolnya sudah kosong. "Eh, ada yang masih punya minum? Bagi, dong."

"Di depan sana ada danau," Fang menjawab dari barisan depan. "Kita bisa mampir bentar buat minum."

"Serius? Ayo buruan ke sana, deh. Aku udah hampir mati dehidrasi dari tadi," kata Gopal. Ia dan Taufan bergegas menyusul Fang di depan, sementara yang lain ragu-ragu.

Jalur MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang