Mencoba untuk menguatkan diri, Serayu masuk dengan perlahan. Ada seseorang yang dia kenal, seorang ibu yang kini menangis, tangisan itu semakin menyayat hati Serayu.
Di setiap bulir air mata yang jatuh, ada jutaan rasa sakit yang meminta untuk diobati. Sorot matanya bahkan sangat sayu, sudah merah karena terlalu banyak menangis.
"Ibu ...." Bu Sahara pelan-pelan menengok, setelah mendapati siapa yang bersuara, peluk erat menjadi reaksi kalau dua insan itu sedang diambang kesedihan.
"Ibu mau bantu bangunin aku? Mimpi aku buruk banget, Bu. Aku takut." Serayu tak terima kalau semua ini adalah kenyataannya. Dia masih tak terima kalau Takdir sudah merenggut apa yang dijaganya dengan sangat.
"Kamu boleh nangis, buang rasa sesak kamu hari ini. Tapi janji sama Ibu, kamu harus ikhlas. Ini bukan mimpi. "
"Tapi kenapa harus Bagas, Bu. Serayu salah apa sampe Bagas pergi gak bilang dulu."
"Gak ada yang bikin kesalahan, Nak. Ibu juga gak terima, hati ibu sama sakitnya. Tapi kalau kita terus berontak, apa Bagas bisa balik lagi?"
Dalam peluk yang belum usai, tangisnya pecah. Dia tak ingin memeluk tubuh kaku Bagas, dia juga tak mau melihat wajahnya untuk terakhir kali.
Serayu hanya ingin melihat senyum indah kasihnya, bukan wajah pucat tanpa senyuman lagi.
Dua tiga kata yang Bagas ucapakan beberapa hari lalu terus terngiang di kepala. "Aku gak mau bikin kamu nangis." Nyatanya, dialah tokoh utama yang membuat matanya tak berhenti menangis.
Dari arah belakang, Haikal mengelus kepala Serayu. Dia terisak. "Jadi alasan lo suruh gue jagain Serayu tuh ini? Sumpah, gue benci sama lo, Gas." Mungkin itu isi hati Haikal sekarang. Pesan masuk dari Bu Sahara tadi siang sangat mengejutkannya. Bu Sahara bilang kalau malam tadi, rumahnya kebanjiran dan Bagas mencoba untuk membersihkan sampah-sampah di sungai yang menyumbat jalannya air. Namun nasib buruk menimpa Rei Bagasirius, anak itu terpeleset saat air sungai meluap.
"Ikhlas bareng Ibu mau ya? Kalau kamu kangen Bagas, kita kunjungi makamnya bareng-bareng nanti." Serayu tau kalau Bu Sahara ingin menenangkannya, padahal hatinya juga belum tentu ikhlas.
Serayu memejamkan mata, mencoba mengatur nafas. Dalam diam dia membatin. "Kamu bikin aku sedih lagi, Gas. Tapi kenapa tidur kamu masih tenang?"
Tangisnya tak pernah berhenti sampai tanah mengubur raga yang akan Serayu rindukan selamanya. Tidak akan ada lagi gombalan manis menjelang waktu tidur, atau sekadar pujian saat keduanya bertemu.
Entah akan seperti apa harinya esok, apa sebuah klakson khas dari si bereum akan terdengar disetiap akhir pekan?
Tanah pusara yang masih basah itu dipeluk dalam dekap yang paling erat. Isak tangis menjadi melodi paling menyesakkan yang semakin terdengar pilu.
Langit bahkan sudah digempur gelap, seolah semesta turut berduka atas apa yang mereka rasakan.
"Ayu, Ibu pulang."
Pelan-pelan dia bangkit, mencoba membersihkan sisa tangisnya tadi. "Ibu hati-hati. Besok pagi Serayu datang lagi."
Senyum menjadi pemisah ketiganya. Bu Sahara terlihat tegar walau kenyataannya tidak. Dia harusnya membenci takdir, memberontak pada dunia. Kehilangan seorang anak tidaklah mudah, ada sesak yang dia tahan sendirian.
"Sera, mau pulang?"
"Nanti, Kal. Masih mau di sini." Kata Serayu sambil mengusap pelan nisan kayu. "Kalau kita pulang, Agas sendirian."
Haikal tidak merespon apapun, malah duduk bersebelahan sembari mendengarkan apa yang Serayu sampaikan dengan nada bergetar.
"Kamu tau kan kalau aku gak terlalu suka hujan? Tapi Agas, kali ini aku ganti kalimat itu. Aku suka hujan karena kamu juga kehujanan."
"Tapi hujan yang udah bikin kamu kehilangan dia, Ra."
"Kal, apa yang paling kamu gak suka?"
Haikal berpikir sebentar, lantas menjawab, "Liat kamu nangis."
"Sekarang, kamu bisa bikin aku berhenti nangis?"
"Nggak. Karena posisi kamu lagi kehilangan."
Serayu diam, memberi waktu pada Haikal untuk berpikir sendiri. "Nanti kamu bakal tau arti dari kalimat aku tadi." Dia kembali meratapi gundukan tanah didepannya, seolah tidak akan pernah puas dan tidak akan ingin menjauh dari sana.
Beberapa ingatan tentang Bagas masih berputar di kepala, tidak habis dimakan denting jam. Setidaknya Bagas meninggalkan ribuan kisah yang bisa membuat senyumnya terbit, walau rasa sakit karena kehilangan tidak akan pernah ada obatnya.
Dia hanya bisa menangis tanpa suara sekarang. Waktu berlalu begitu cepat, sore mulai kehilangan waktunya. Mendung tadi digantikan gelap dengan semburat merah jambu disisi barat.
Dengan berat hati dia harus pulang. Terus menemani jasad yang kini telah pergi ke peraduannya tidak akan membuat semua realita menjadi halusinasi semata.
"Agas, aku pulang. Aku gak bilang kalau aku ikhlas atas perginya kamu. Tapi, aku harus lakuin hal itu. Kalau mau jujur, dunia aku hancur, Gas. Sakit banget di sini." Serayu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangis. "Kalau aku punya kuasa buat ngerubah takdir, aku bakal ngapus nama kamu didalam takdir aku dan nulis lembar baru nama kita di dunia yang gak akan pernah berakhir."
"Ngelupain kamu itu susah, Gas." Lanjutnya dalam diam.
Aku baru belajar bikin cerita angst, jadi mohon dimaklum. Sebisa mungkin aku bakal terus belajar. Lopyuuusm<3
©lyfdlh
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sedu Di Kota Hujan [Selesai]
Romance─── na jaemin ft lee haechan au ©lyfdlh ❝ 𝓛𝓪𝓷𝓰𝓲𝓽 𝓳𝓾𝓰𝓪 𝓽𝓪𝓱𝓾 𝓴𝓪𝓵𝓪𝓾 𝓪𝓴𝓾 𝓹𝓮𝓷𝓰𝓮𝓷 𝓵𝓮𝓫𝓲𝓱 𝓵𝓪𝓶𝓪 𝓫𝓪𝓻𝓮𝓷𝓰 𝓴𝓪𝓶𝓾.❞ [13 Mei - 08 Januari] 🥇bogor 31/12/22