lembar ke sembilan belas; akhir cerita kita

79 47 6
                                    

Katakanlah kalau malam ini adalah malam paling dingin sesudah malam dimana Bagas benar-benar meninggalkan Serayu sendirian. Ruang kamar gelap seolah menjadi sahabatnya sejak kemarin.

Jika ditanya bagaimana rasanya terkurung dalam kepedihan yang entah kapan selesainya, Serayu sungguh tidak punya jawaban apapun selain sesak.

Tidak ada lagi air mata yang tumpah, yang tersisa hanyalah sepi berkepanjangan.

Kamera Bagas yang tersimpan apik di dalam laci saja belum sempat perempuan itu sentuh, takut kalau semuanya semakin susah untuk diterima. Barang-barang pemberian kasihnya pun masih tertata dalam nakas, dari boneka hingga mawar kering menjadi teman tak berperasaan.

"Mawar ini mawar pertama yang aku kasih ke cewek, Ra. Kamu harusnya beruntung."

"Cantik, jepit rambutnya cocok di pasang di sini."

"Aku punya banyak stiker-stiker lucu, kalau kamu mau aku kasih semuanya."

"Panas, Sera. Duduk di sini dulu, sebelah aku."

"Aku mau kamu cinta sama diri kamu sendiri, kita jadi mencintai orang yang sama."

"Senyum, Serayu. Cemberut mulu, cepet tua, mau? Kalau menua bersama sih gapapa."

"Besok aku jemput, pulangnya juga."

"Cantik banget punyanya aku."

"Serayu, i love you."

"I love you more."

"Mau makan apa? Jangan bilang terserah kalau tangan kamu gak mau penuh kresek isi makanan."

"Mau hadiah apa buat ulang tahun? Boneka, novel atau aku?"

Senyum Bagas masih terkenang sampai sekarang, semua yang dia ucapkan tetap menjadi melodi penghantar tidur terbaik. Serayu terlalu naif kalau dia bilang dia akan baik-baik saja setelah ini. Karna nyatanya, semua semakin berat.

"Aku mau kamu." Serayu bergumam lirih. Ulang tahunnya sudah terlewat dua hari, biasanya Bagas mengirim boneka-boneka lucu setiap tanggal 25. Katanya 'ingin merayakan tanggal spesial untuk perempuan yang spesial'.

Biarlah Serayu tenggelam dalam kepedihan sampai dirinya benar-benar siap untuk melepaskan apa yang sejatinya harus dilepas sejak kemarin.

Dia berjanji kalau hari ini dia harus bisa mengikhlaskan Bagas bagaimanapun caranya. Mencoba membendung sedu meski bulan Desember ini adalah bulan paling pedih sebab langit terus menangis hinga tengah malam.

Biarlah dia menangis sejadi-jadinya, membuka luka lama untuk kemudian menguburnya dalam-dalam.

Melihat banyak foto-foto yang sempat mereka abadikan beberapa saat lalu, bersama gadis kecil bersepeda pink sebelum menghias langit-langit dengan banyak layang-layang.

Bagas yang katanya ingin jadi tanah, dan Serayu menjadi langitnya. Serayu tahu kalau bagas selalu mewujudkan perkataanya, tapi bukan itu yang dia ingin, bukan tubuh kaku yang sudah terkubur dalam tanah gembur yang Serayu inginkan. Rasanya kian sesak jika memori waktu itu berputar lagi.

Serayu masih ingat perkataan kalau Bagas sempat tidak tidur nyenyak hanya karena membuatnya menangis, tapi malam ini dan malam-malam sebelumnya, mengapa dia tidak lekas menjumpai kasihnya walau hanya dalam mimpi dan berkata, "Aku rindu kamu dan hujan dipertengahan November, Sera. Saat hujan turun tak menentu, membuat kamu kesal sebab aku sering telat untuk menjemput. Kamu yang paling benci becek serta rintik tipis-tipis hujan malam itu."

Memanglah singkat pertemuan mereka, tidak memaksakan penuh bulan-bulan yang berhenti di penghujung tahun. Tapi ayolah, Eza masih menangis parau kalau mengingat obrolannya bersama Bagas malam itu. "Eza tahu kalau a Bagas itu ngeselin, tapi dia lucu, Teh. Eza yang belum kenal lama aja bisa nangis gini apalagi teteh."  Anak itu ikut menangis padahal Serayu sudah terisak dalam diam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 tapi gerimis masih membuat kaca kamarnya berembun. Serayu mengambil satu kardus besar sambil berusaha untuk ikhlas sekali lagi.

Tangan jenjangnya lantas meraih beberapa buket mawar merah yang sudah layu. "Aku beruntung karena aku perempuan pertama yang kamu kasih bunga, Gas. Tapi kamu? Bunga pertama yang aku kasih malah taburan bunga di pemakaman."

Dus besar itu sudah terisi beberapa buket karena ada beberapa yang sudah Serayu buang jauh-jauh hari.

Benda kedua yang dia masukkan itu kamera, sudah cukup satu kali Serayu tahu apa isi di dalamnya, selebihnya jangan. "Karet rambut aku masih banyak, Agas." Serayu menaruh satu toples karet dan kamera itu dalam posisi yang bersebelahan, boneka-boneka kecil berwarna biru menyusul setelahnya. "Jepit rambut sama stikernya juga aku simpen, aku dan kamu udah beda, aku tahu itu. Sekarang, aku ngelepas kamu seutuhnya." Katanya sambil membawa turun kardus besar tersebut menuju tangga.

"Sera?"

Langkahnya berhenti, menengok ke sisi kanan dan Haikal lah yang dia temui.

"Itu apa?" Dia bertanya sambil mendekat. Berusaha meraih untuk membantu tapi si perempuan malah mundur kebelakang.

"Bukan apa-apa. Cuma barang-barang dari Agas."

Lepas memberitahu isinya, Serayu berjalan ke depan lalu memuju sebuah ruangan kecil samping garasi. Dia membuka ruangannya dan meletakkan di paling pojok. Dia sempat menunduk lama entah berdoa atau bergelut dengan isi hatinya. Sedangkan Haikal hanya memantau dari belakang.

"Udah?"

Serayu mengangguk dan menatap Haikal dengan mata yang sayu. Haikal yang paham atas kesedihan temannya lantas melebarkan tangan dan memeluknya dalam dekapan erat.

Sambil terisak, Serayu sesekali mengucapkan kata jangan yang entah merujuk ke apa dan siapa. Haikal sesekali mengusap pelan punggung dan bergantian ke pucuk kepala. Dia berbisik, "Nangis sepuas kamu, Ra. Ada aku di sini."

Tak jauh dari mereka berdua, Jidan dan Eza diam-diam mengintip dari balik pintu utama.

"A Ikal masih belum lupa sama perasannya?" Tanya adik dari Jidan karena tak mau dimakan rasa penasarannya katanya.

Si kakak lantas menjawab, "Masih kecil, gausah kepo."

"Pantes teh Sera nangis terus, orang A Agasnya aja baik. Gak kayak A Jidan, kayak lelembut."

Tak sempat membalas perkataan Eza dengan makian atau pukulan, anak itu berlari pergi ke kamarnya. Jidan menghela nafas, mencoba pergi dari keadaan dimana Haikal sedang memperbaiki semuanya.


 Jidan menghela nafas, mencoba pergi dari keadaan dimana Haikal sedang memperbaiki semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai
Mulai chapter selanjutnya, akan lebih banyak momen Haikal dan Sera.
Terima kasih karena telah mencintai sosok Agas sampai detik ini.

Rintik Sedu Di Kota Hujan [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang