𝗔𝗸𝘂 𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴, 𝗞𝗮𝗸.

701 81 10
                                    

Sudah sangat jelas jika wanita yang ada di hadapannya ini adalah, (Namakamu) istrinya. Jika Istri pertamanya, (Namakamu) telah kembali. Lalu bagaimana dengan nasib, Lara?

Iqbaal tercengang, Perlahan ia menoleh kebelakang tepatnya pada Lara yang terdiam tak bergeming. Jantung Iqbaal berdetak kencang. Ya tuhan, bagaimana ini?

Salah seorang kerabat berinisiatif untuk membubarkan para tamu dengan sopan. Karena apapun juga, Hal ini harus segera dibubarkan.

Iqbaal menelan salivanya dengan raut wajah yang kacau. Kedua matanya yang memerah menoleh kembali pada Lara yang sudah berada didekapan Denita.

Semua orang, semua kerabat terlihat sangat syok dengan keberadaan (Namakamu) yang secara tiba-tiba ini. Manusia yang dikira sudah meninggal tiga tahun lalu kini muncul dengan tubuh yang lengkap.

"Kenapa jadi seperti ini, Tuhan?" Iqbaal mengusap wajahnya gusar. Ia berjalan mendekati Lara yang masih terdiam seribu bahasa.

Kedua mata Lara yang berkaca-kaca kini menatapnya dengan alis yang berkerut. Iqbaal memejamkan kedua matanya, Ia tau arti dibalik sorotan mata yang Lara tunjukkan.

Menyiratkan sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk Iqbaal jawab. "Ra, Aku bener-bener nggak tau.." Lirihnya sembari mengelus bahu Lara.

"Jadi benar, Dia (Namakamu), baal?"

Iqbaal dan Lara menoleh pada Denita yang masih berada didekat menantu 'baru'--nya. Wanita berumur 55 tahun itu menatap penuh harap pada Iqbaal.

"Ehm, Lebih baik.." Iqbaal tersenyum kecil pada Lara dan Denita secara bergantian. Ia ingin terlihat senormal mungkin disaat jantungnya berdetak begitu kencang.

"L-lebih baik, Mami sama Lara masuk kedalem ya?" Pintanya dengan lembut. "Masuk ya, Ra?"

Lara mengeryit tentu masih dengan mulut yang terbungkam. Dengan cepat Iqbaal meraih tangan kanan Lara. "Mas mohon, Ra?"

"Tante, Tolong bawa Mami sama Lara kedalem ya. Nggak baik angin malam," Secara tidak langsung, Iqbaal meminta pertolongan pada kerabatnya agar membawa Lara dan Denita masuk kedalam rumah.

Memang benar, Angin malam tidak baik. Itu salah satu alasannya, Namun jika ditanya, Alasan lain. Tentu saja, mengenai (Namakamu).

Kedua mata Iqbaal mengikuti kepergian Lara dan Denita yang dibantu oleh kerabat berjalan masuk kedalam rumah. Tak lama kemudian, ia kembali mendatangi (Namakamu) yang masih mendekap putera mereka, Rehan.

Rehan, Ah ya. Lelaki muda itu sangat menunjukkan sekali jika dia begitu senang. Segala rasa rindunya kini terbayar sudah dengan dekapan hangat sang Bunda.

"Rehan.."

Dekapan Rehan dan (Namakamu) melerai, Ibu dan Anak itu menoleh pada Iqbaal yang berdiri dihadapan mereka dengan tatapan sendu.

"Kamu masuk ke dalem dulu ya? Papah mau---"

"Gak! Aku nggak mau ninggalin Bunda!" Tolak Rehan disertai dekapan posesif pada (Namakamu).

"Ya tapi---" Iqbaal menghela nafasnya, "Yaudah, Oke." Keduanya matanya bergulir pada (Namakamu) yang sama sekali tidak melihat kearahnya.

"Dek, Masuk yuk?"

(Namakamu) yang terdiam pun kini perlahan menatap pada Iqbaal yang mengajaknya untuk masuk ke.. Rumahnya.

Kedua matanya melihat sekeliling rumah yang sangat ia rindukan. Masih terlihat sama, seperti tiga tahun lalu. Suasananya, keceriannya, terekam indah di dalam memori (Namakamu).

Atensinya kini beralih pada sebuah perkebunan yang diisi oleh tanaman hias dan semua yang hijau, Ada disana.

Kebun itu.. Ah, kebun yang dulu ia rawat dan jaga dengan baik. Setiap pagi dan sore, (Namakamu) selalu menyapa dengan senyuman hangat pada setiap tanamannya.

Gets The Best. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang