"Gue udah wanti-wantiin Lo untuk jangan dulu nikahin Lara.. Tapi apa respon lu? Hasilnya jadi kayak gini 'kan?"
Iqbaal menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah dan lemas. Ia memijat pangkal hidungnya sembari melirik sekilas pada dua orang Pria yang duduk di satu meja dengannya.
Dika dan Evan, Sekretarisnya.
Kedua telinganya terasa sedikit panas mendengar omelan dari teman dekatnya. Dika memang satu-satunya orang yang tidak merestui hubungan pernikahannya dengan Lara.
Bukan tidak merestui tapi, Dika tidak menyetujui jika Iqbaal harus melangkah menuju jenjang pernikahan. Memang itu adalah hal baik, Namun Dika yakin jika (Namakamu) masih hidup.
Dan kini, pemikirannya benar. Tapi, kenapa Iqbaal begitu keras kepala dan tidak mempercayainya?
Ini kali pertama Mereka bertemu lagi setelah Iqbaal kembali memulai untuk bekerja di kantor dan menikah dengan Lara. Dan waktu malam lah yang mereka pilih untuk bertemu dan mengobrol.
"Kita-kita juga 'kan yang pusing!" Dika menghembuskan asap rokok yang terjepit diantara jari telunjuk dan tengahnya.
Iqbaal menghela nafasnya kemudian berdehem kecil. Ia membenarkan posisi duduknya lalu meraih kaleng soda dan meneguknya sesaat.
"Gue nggak ekspek," Desisnya kecil. Pria itu mengusap wajahnya gusar dengan mata yang memerah. "Gue bener-bener minta maaf sama lo, Dik."
Evan yang sedaritadi menikmati brownis pesanannya pun berdehem sembari meletakkan garpu. "Lo gak perlu minta maaf sama Dika, Pak Bos."
"Ini udah terjadi dan lo nggak bisa untuk.." Evan mengangkat kedua bahunya, "Menyesal."
Iqbaal terdiam. Kedua matanya yang terasa lelah dan ingin segera tertidur mengedarkan pandangannya kesekeliling Cafe yang masih banyak pengunjung.
"Terus.. Malem ini lo balik kerumah siapa?"
Iqbaal menggeleng sembari menenggelamkan kepalanya di lipatan kedua tangan. Dia tidak menjawab secara lisan pertanyaan dari Dika.
Melihat sang sahabat yang terlihat kebingungan membuat Dika berinisitif untuk menawarkan sesuatu pada Iqbaal. "Lo tidur di rumah gue dulu aja, Baal."
"Atau di Apartemen gue, mungkin?" Sahut Evan.
Iqbaal bangkit dari posisi sebelumnya, dia menggeleng kecil dengan mata yang terpejam. "Gue mungkin bakalan tidur di Apartemen, tapi bukan di Apartemen lo, Van."
Dika terdiam sembari meneguk kopi hitam yang tinggal setengah. "Gue punya saran yang menurut gue bagus.."
"Apaan tuh?" Tanya Evan.
Dika berdehem sembari menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan yang saling menggenggam. Dia memandang serius pada Iqbaal.
"Lebih baik lo datangin Lara baal, Dia pasti butuh lo." Saran itu membuat Iqbaal mengeryit sementara Evan terdiam kebingungan. Melihat tatapan yang seolah tidak mengerti akan sarannya membuat Dika terkekeh kecil.
"Gue tau, Kalian termasuk Lo baal.. kebingungan sama apa yang gue bilang, tapi---"
"Jelas gue bingung, Dari awal gue berhubungan sama Lara, Lo nggak setuju dan---"
"Gue bukannya nggak setuju, bal." Ralat Dika dengan cepat. Ia menggeleng kecil, "Gue bukan nggak setuju tentang hubungan lo sama Lara. Gue setuju aja, Karena gue nyadar waktu itu lo udah sendiri dan butuh seseorang buat nemenin hidup lo."
"Yang nggak gue setujuin itu adalah Lo yang mau bawa hubungan ini ke jenjang pernikahan. As what i said, Gue nggak percaya kalo (Namakamu) udah nggak ada. Dan sekarang kejadian 'kan?"