"Jadi.. Kamu ada niatan buat buka toko kue?"
Saat ini (Namakamu) sedang berada di halaman belakang. Menikmati udara sore hari yang sangat ia sukai sejak dulu. Wanita itu tak sendirian, ia ditemani oleh Denita. Dihadapan mereka terdapat meja bunda kecil yang diatasnya terdapat dua cangkir teh hangat serta setoples kue kering.
(Namakamu) mengangguk disertai senyuman kecil. Membuka sebuah toko kue adalah hal yang sudah ia fikirkan beberapa minggu kebelakang. Keahliannya untuk membuat kue adalah salah satu alasan mengapa ia ingin membuka toko kue.
Tentu saja ada beberapa alasan lain yang entah kenapa membuat (Namakamu) muak untuk memikirkannya.
Wanita itu menghela nafasnya seraya meraih cangkir teh miliknya. "Sayang juga mam, skill membuat kue yang aku punya nggak diasah lebih dalam."
"Hal lain?"
(Namakamu) yang sedang menyesap aroma teh itupun menoleh pada Denita yang sedang menunggu jawabannya. "Maksud---"
Ucapan (Namakamu) terpotong tatkala ia dan denita mendengar langkah kaki yang mendekat kearah mereka. Dilihatnya, ternyata itu Iqbaal.
"Loh? Kok sudah---"
"Ikut aku kekamar," Ucap Iqbaal menatap dengan tatapan dingin pada (Namakamu). Hal itu jelas membuat aura yang semula adem kini mencekam seketika.
Denita melirik kearah Iqbaal dengan ekspresi yang kebingungan. Kedua matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang ada digenggaman Iqbaal. "Baal kamu---"
"Mam, tanpa mengurangi rasa hormat aku sama mami, Aku minta Mami diem dulu, Okay?" Tanpa babibu Iqbaal segera pergi.
(Namakamu) yang sedaritadi terdiam hanya bisa diam tanpa mengeluarkan satu katapun. Ia memejamkan kedua matanya seraya menelan salivanya yang begitu sangat pahit.
"Ada masalah apalagi, (Namakamu)?" Pertanyaan itu tak sama sekali digubris. Menantunya itu segera pergi namun Denita dapat melihat (Namakamu) yang menyeka sudut matanya sebelum beranjak dari duduknya.
Sementara di ruangan lain, Iqbaal sedang berdiri menatap luasnya hamparan rumput hijau yang mengelilingi sekitaran rumah megahnya. Dari ekspresi yang Iqbaal tunjuk, sangat terlihat sekali jika ia sedang menyimpan berbagai emosi.
Pria itu meremas sepucuk surat yang sama sekali tidak ia duga akan ditujukan kepadanya. Sulit sekali untuk ia berfikir selain, Kenapa dan Mengapa.
Clek!
Iqbaal menoleh kearah sumber suara. Dilihatnya (Namakamu) barusaja menutup pintu kamar dengan kepala yang menunduk. Pria itu memejamkan kedua matanya dengan kedua alis yang menyatu.
"Duduk!" Titah Iqbaal dengan nada bicara yang sarkas sembari membuka jas kerjanya lalu ia letakkan asal di sandaran kursi rias (Namakamu).
(Namakamu) masih terdiam tidak mengikuti arahan sang suami.
Iqbaal menoleh kearah belakang kemudian ia mendecak, Pria itu berjalan mendekati sang Istri yang terlihat ketakutan. Dengan mulut yang membisu Iqbaal menatap penuh nanar kearah (Namakamu).
"Hh!" Helaan nafas yang begitu berat mampu (Namaku) dengar dengan jelas. Kedua mata Iqbaal yang me'merah dan berair tidak mampu (Namakamu) tatap lama-lama.
Kepalanya yang menunduk membuat (Namakamu) dapat melihat kearah kedua tangan Iqbaal yang terkepal kuat. Jujur saja membuat jantungnya berdetak begitu cepat.
Dengan mulut yang bergetar, Iqbaal membuka suara. Suaranya yang berat dan bergetarpun berkata.
"K-kenapa?"