BAB 12

173 26 0
                                    

□■□■□■□■□

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

□■□■□■□■□

Semua pengawal berusaha untuk melerai keduanya bertengkar. Tidak disangka-sangka, Naruto unggul dalam fisik yang mungkin terlihat jauh lebih besar dari ayahnya, padahal anak itu masih remaja. 

Minato Uzumaki tidak berdaya di bawah putranya, seakan rela terluka demi memuaskan kemarahan pemuda itu, dan membiarkannya memberikan pelajaran untuknya. Ia memang tidak seharusnya ikut campur, tapi gadis itu dapat membantunya agar Naruto pulang ke rumah. Ia hanya ingin memastikan putranya berhak bahagia, meskipun selama ini anak itu lebih banyak menghadapi kemalangan pada hidupnya. 

"Naru," saat Naruto hampir menusukkan sekop yang dipegangnya ke mata ayahnya yang ada di bawahnya, dia mendengar suara Hinata yang bergetar di sampingnya. Mata gadis itu melebar, terkejut dengan kejadian yang ditemuinya untuk pertama kali. Siapa pun pasti tidak percaya, termasuk Hinata, dia mengenal Naruto sebagai pemuda periang. Aneh baginya harus mendapati Naruto menyerang orang lain, apalagi itu ayahnya. 

"Apa... Apa yang sebenarnya kaulakukan?" gadis itu masih berdiri di tempatnya, tak beranjak dari sana. Hinata tak berani atau memang dia tidak sanggup melerai. Naruto berbeda dari apa yang dikenalnya selama ini. "Kau tidak harus bersikap seperti itu."

Kesadarannya kembali, Naruto segera menjatuhkan sekop itu di samping ayahnya lalu berdiri menghampiri Hinata. "Kau baik-baik saja? Tidak terluka?" wajah Hinata masih terlihat pucat, perubahan sikap Naruto membuat Hinata merasa ada yang salah pada Naruto. "Mereka melakukan sesuatu padamu?" Hinata melirik ke belakang Naruto, pria itu, yang dikenalnya sebagai ayah Naruto, berdiri dengan dibantu oleh pelayan, lalu menepuk pakaiannya yang kotor oleh tanah. Ekspresinya tidak terlihat marah, atau kesal bahwa dia mendapatkan perlakuan kurang pantas dari putranya sendiri. "Lihat aku, Hinata!" 

"Aku... Aku melihatmu," seru Hinata gugup, tetapi dia malah menunduk. Naruto yang mengetahui perubahan Hinata segera menangkap pipi Hinata dan memaksa gadis itu agar benar-benar melihatnya. "Naru, kenapa... Kenapa kau menangis?" 

Menggelengkan kepala, Naruto segera memeluk Hinata, dan diam-diam bersyukur bahwa Hinata tidak terluka, bahwa tidak terjadi sesuatu pada gadis itu, walaupun ada perubahan besar yang ditemukan oleh Naruto dari ekspresi Hinata yang agaknya takut kepadanya. 

"Tadi, aku melihat kamarmu," kata Hinata, masih berada dalam pelukan Naruto yang membuatnya sesak. "Kamarmu sangat luas, ada banyak mainan, aku juga melihat album masa kecilmu. Kau lucu sekali," tetapi di dalam album foto itu, Hinata tidak satu pun melihat Naruto tersenyum. Ia tak tahu bagaimana harus bertanya, pun kepada siapa dia mencari tahu ke mana ekspresi yang harusnya bahagia itu. Hinata semakin terjerat oleh rasa penasaran, keingintahuan yang lebih besar untuk mengenal Naruto, tapi semua rasa penasaran itu pasti memiliki risiko yang tidak terbayangkan. "Naruto, sesak." 

Tersadar, Naruto segera melepaskan pelukannya dan sekali lagi memperhatikan raut wajah Hinata. "Kau mau pergi ke kamar itu sekali lagi bersamaku?" karena tentu saja ayahnya akan melarang mereka untuk keluar dari rumah ini lantaran ini sudah larut malam. "Kita pergi ke sana bersama-sama." 

ORANGE: Hard to LoveWhere stories live. Discover now