BAB 14

119 23 0
                                    

□■□■□■□■□

Naruto bergegas keluar dari rumah Hinata. Ia tak mungkin sepanjang hari berada di sana ketika gadis itu pergi ke sekolah. Ia pun punya banyak kepentingan, sebagaimana yang dia perdebatkan tadi malam bersama sang ayah. Naruto berpikir dia harus pulang ke rumah lagi untuk membicarakan sesuatu bersama pria itu.

Sebelum benar-benar pergi dari rumah Hinata, Naruto memutar tubuhnya untuk memandang lantai gedung di mana gadis itu tinggal. Ia mendongak, lalu tersenyum lembut tak hentinya ke sana. Namun tidak lama kemudian, dia mendengar mobil berhenti di sampingnya, dan itu para suruhan ayahnya, yang tidak sekalipun membiarkannya beristirahat dari kucing-kucingan.

"Aku akan pulang, jadi jangan menarikku agar masuk ke dalam mobil," katanya kepada mereka. "Pergi dari hadapanku, sialan," umpat Naruto.

Dalam perjalanan itu, dia melihat seseorang duduk di bagian kursi depan. "Kakashi?"

Pria berambut perak itu melirik ke belakang. "Tuan Muda, apa kabar?" Naruto mengalihkan tatapannya, berpikir ini tidak akan mudah jika Kakashi ada di sini sekarang. Apakah ini karena tadi malam? Dia membuat keributan dan menyerang ayahnya. Jika kesadarannya pada saat itu tidak di sana, dengan yakin dia akan melukai ayahnya. Maka saat ini waktu yang tepat untuk mengajari dia sesuatu seperti sopan santun kepada orangtua dengan benar.

Perjalanan tersebut diliputi oleh kesunyian, tak seorang pun membuat suara, kecuali mesin Tesla yang terus menyalah karena perjalanan panjang pulang ke rumah.

Mobil itu pun berhenti tidak lama kemudian. Tepat di depan gerbang keluarga Uzumaki, mereka perlu melewati pemeriksaan, tetapi semua itu tak butuh waktu cukup lama.

Sampai di lobi, Naruto digiring menuju ke ruang kerja. Tapi sebelum dibiarkan masuk ke sana, Kakashi memutar tubuhnya dan mengatakan sesuatu seperti peringatan. "Tidak ada seperti tadi malam," Naruto menatap sinis Kakashi. "Aku tidak terlalu suka dengan penyerangan itu. Meskipun kau putranya, kau tak berhak menyerangnya."

"Kau seharusnya mengerti," ujar Naruto, Kakashi pun membisu. "Sakit hati tak semudah itu disingkirkan hanya karena kau anggota keluarga satu-satunya." Dengan kedua tangan yang bebas, Naruto mendorong Kakashi menjauh, dan segera itu dia masuk ke dalam ruang kerja ayahnya.

Sudah di dalam sana, Naruto menemukan ayahnya sedang membaca buku. Novel klasik seperti Thérèse Raquin berada di atas kedua telapak tangannya yang lebar. Pria itu segera menutup buku tersebut, melirik Naruto yang duduk tepat di seberang pria itu.

"Apa kau datang ke sini untuk minta maaf soal tadi malam?" mata Naruto tak sekalipun melihat ayahnya, dia malas untuk menanggapi pria itu. "Pacarmu seharusnya tahu apa yang terjadi padamu."

Naruto membalas tatapan bersahabat itu dengan kemarahan. "Ayah!" tidak disangka, pria itu tertawa. "Apa sekarang?"

"Aku hanya senang kau memanggilku—ya, akhirnya," pria itu kelihatan terharu, tetapi Naruto malas menanggapinya, dan semua itu kelihatan sekali palsu. "Apa kau mencintainya? Kasih sayang seperti apa yang sedang kalian nikmati? Aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu, ketika aku jatuh cinta kepada ibumu, dan tak sekalipun memedulikan konflik keluarganya. Aku sangat menyesal tidak menghargai waktu kami dengan benar, tak sekalipun aku bertanya apakah dia senang berada di sisiku. Aku hanya terus menariknya ke dalam pelukanku, tak berpikir untuk berpisah."

Minato meratapi kesedihan itu sekali lagi. Tak dapat dipungkiri bahwa dia tidak pernah merasa baik-baik saja. Ketabahan yang dijalani seperti ujung jarum yang menusuk jantungnya secara konstan dan berkala, yang jauh lebih terasa menyakitkan. Meskipun Minato merasa diberi kesempatan untuk bercerita semua masalahnya, dia masih tidak tahu dari mana dia memulainya. Minato menganggap bahwa putranya masih terlalu kecil untuk memahami semua itu, dan mungkin untuk selamanya.

"Semua kesalahpahaman itu harusnya dituntaskan agar kau tidak terluka lebih lama. Tapi tidak cukup mengerti dari titik mana aku memulai. Satu-satunya yang ingin aku beritahu kepadamu, aku mencintai ibumu, tak sekalipun berniat meninggalkannya, sekalipun pada hari penyerangan yang dialaminya. Minta maaf mungkin bukan sesuatu yang kau inginkan dariku. Aku pun tidak cukup berani untuk meminta maaf kepadamu. Aku merasa menyesal harus melibatkanmu."

"Jika kau tidak tahu dari mana harus bercerita, maka izinkan aku saja yang berbicara kali ini untuk memperingatkanmu," bibir Minato mengatup, tak berniat menyela. "Jangan pernah melibatkan Hinata, meskipun gadis itu pacarku atau bukan, jangan melibatkannya ke dalam keluarga kita. Aku tidak ingin dia terluka—aku sungguh tidak ingin membuatnya sedih karena masalah kita berdua."

Terpaku, Minato tak menyangka bahwa saat-saat seperti ini akan datang untuk putranya. Ia tahu pemuda itu sering kali membawa seorang gadis untuk pergi bersamanya, tetapi Minato merasa bahwa gadis-gadis itu tidak lebih dari gadis yang dipermainkannya. Cukup aneh mendapatkan laporan bahwa Naruto berminat dengan gadis yang sama selama sebulan, dan di hari itu, dia merasa gadis itu dapat menolongnya.

"Apa kau menyukai gadis itu karena dia mirip Kushina?"

Bukan hanya dia, tetapi ayahnya berpikir bahwa Hinata memang mirip dengan sosok wanita yang mereka sayangi. "Tidak, kau salah besar," Naruto tiba-tiba berdiri, dia berusaha menyangkal agar tidak terlihat sebagai pemuda lemah. "Aku akan sering pulang, jika memang itu maumu, dengan begitu kau tidak punya alasan untuk menyentuhnya, Ayah."

Naruto bergegas pergi ke ruang di mana barang-barang ibunya masih ada di sana. Setiap lemari diisi oleh gaun-gaun indah wanita itu, dan bermacam koleksi yang hanya ada satu di dunia. Seperti perempuan lainnya di dunia ini, ibunya gemar mengoleksi sesuatu yang cantik, tetapi tak sekalipun perempuan itu mengenakannya. Ada baiknya barang-barang itu dikoleksi karena dia menyukainya, pikir ibunya yang masih tidak dimengerti oleh Naruto sendiri hingga dia cukup dewasa untuk menanggapi semua omong kosong wanita itu.

"Kau ada di sini rupanya."

Naruto bergeming.

"Apa kau semakin kesal karena lagi-lagi ayahmu tidak menceritakan masalah tersebut?" Kakashi menghampiri Naruto, dia jarang sekali menunjukkan ketidaksabarannya. "Ayahmu punya alasan, biarlah dia menyimpan luka itu sendiri."

Akhirnya Naruto melirik pria itu. "Dia masih menganggap bahwa anak kecil tidak harusnya terlibat ke dalam masalah orang dewasa. Aku pun tidak ingin dia melibatkan diri ke masalah anak-anak—di antara aku dan Hinata, tidak harusnya ada dia." Naruto kembali ke gaun-gaun ibunya, meneliti setiap gaun indah itu, dan berpikir apakah Hinata mau mengenakan salah satu dari koleksi ibunya. "Kau jangan khawatir. Mulai sekarang aku akan tinggal di sini, dan tidak ada alasan baginya untuk mengurusi kehidupanku."

"Aku akan beritahu satu hal yang seharusnya membuatmu bisa meredakan kemarahanmu," ujar Kakashi. "Pria yang melukai ibumu di hari itu, ditemukan gantung diri di rumahnya di Rusia."

"Aku tidak yakin," seru Naruto. "Masalah itu benar-benar berakhir, hanya karena kau merasa semua dosa itu terampuni dengan cara bunuh diri? Aku masih cukup semangat untuk mencari tahu siapa saja yang terlibat di sana. Dia menghancurkan satu keluarga, dan aku berpikir dia harus mendapatkan hal yang sama."

Kakashi tidak sekalipun mengalihkan tatapannya di saat Naruto menatapnya tajam dan dingin, dan mengira bahwa pemuda itu tidak terlalu baik-baik saja. Kakashi merasa seperti baru saja ditelan hidup-hidup.

"Kau mengerti, Kakashi? Jangan datang kepadaku hanya karena kau pernah menjadi guruku. Muncul di hadapanku seperti ini, bukan berarti kau dapat menghentikanku. Aku menghargai semua ketulusanmu, tapi aku tidak membutuhkannya."

Setelah itu, Naruto mengambil salah satu gaun dan diberikannya kepada pelayan. "Tolong urus ini, aku ingin memberikannya kepada kekasihku."

"Baik, Tuan Muda," jawab pelayan tersebut dan pergi, sementara Kakashi bergeming di tempatnya.

□■□■□■□■□

BERSAMBUNG

ORANGE: Hard to LoveWhere stories live. Discover now