BAB 26

121 24 0
                                    

□■□■□■□■□

Tidak peduli seberapa tidak diterimanya dia di dunia ini, Toneri Otsutsuki akan tetap bernapas daripada memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Saat dia babak belur dihajar anak lain di sekolah barunya itu, dia berusaha tabah, tapi untuk kali ini dia merasa sangat marah. 

Suara lonceng yang mengganggu itu berbunyi. Seperti biasa saat dia mendapatkan jadwal untuk menjaga toserba, Toneri harus siap siaga menyambut pelanggan yang datang, bahkan saat malam tiba. Ia menyukai kesunyian, tak peduli dia harus bekerja sampai pagi menjelang, kenyataannya dia tidak terlalu suka memasuki dunia hiburan karena pigmentasi yang terjadi pada kulitnya sering kali diolok-olok sebagai makhluk asing yang tak dapat diterima. 

Sebelum Hinata pulang, dia mengamati Toneri yang baru datang di dekat gudang penyimpanan alih-alih menyuruh pemuda itu untuk segera ke depan, lantaran Hinata penasaran sejak pemuda itu datang untuk menggantikannya berjaga, dengan wajah babak belur dan semakin pendiam. Padahal, saat bertemu di kencan buta, Toneri amat mengganggu karena dia ingin terlihat ramah, tetapi saat-saat terakhir mereka bertemu kembali, pemuda itu seolah menjaga jarak, dan menunjukkan gelagat bahwa mereka tak harusnya dekat. 

"Apa ini ada kaitannya dengan Naruto?" selesai mengurus satu pelanggan yang membeli tiga kaleng bir, Toneri memperhatikan Hinata yang ada di depannya. Ia hanya mengalihkan tatapannya dari gadis itu, tak mampu menjawab dengan berusaha menyembunyikan wajahnya yang tidak enak dipandang. "Kau dipukuli olehnya? Dia merundungmu di sekolah? Katakan padaku. Aku tidak akan menyalahkanmu atas kejujuran yang kaukatakan kepadaku."

"Tidak, bukan dia." 

"Mengapa bukan dia? Dia mungkin saja satu-satunya orang bisa melakukan ini karena dia tidak menyukaimu. Kau pasti menyadari setiap bertemu." 

"Apa kau tidak memercayai pacarmu sampai kau menginterogasiku?" Hinata terlihat kurang sabar untuk menunggu jawaban yang pasti. Dia muak mendengar Toneri berbelit-belit. "Ini tidak ada kaitannya denganmu. Kau pasti salah paham." 

"Salah paham?" Hinata membuang tawanya. "Syukurlah kalau begitu." 

Merasa tidak perlu peduli lagi, Hinata memutuskan untuk pulang ke rumah daripada mencari tahu wajah Toneri yang babak belur, toh itu bukan urusannya, tetapi tidak dapat disembunyikan bahwa Toneri dan Naruto berada di sekolah yang sama. Ia tak mau mencurigai Naruto, hanya saja mengingat sikap lelaki itu, serta perkumpulan yang terlalu mencolok seperti pusat magnet yang tak dapat diabaikan. Hinata menjadi sulit menenangkan pikirannya. Ia kalut malam ini oleh kemungkinan yang tidak pasti itu.

Di jalan dekat apartemen, Hinata melihat Naruto baru saja keluar dari mobil. Pandangan mereka kemudian bertemu, Naruto pun segera melambaikan tangannya dan berlari mendekati Hinata. Namun masalahnya, gadis itu melaluinya tanpa sepatah kata. Seingatnya, mereka tidak sedang bersitegang hingga menyebabkan gadis itu tak peduli kepadanya. Atau jangan-jangan ini karena Hiashi Hyuuga yang sejak awal tak merestui hubungan mereka? 

"Terjadi sesuatu?" 

"Aku pikir tidak ada, tetapi hari ini aku agaknya lelah." 

"Baiklah, aku tidak akan mengganggumu," kata Naruto, yang mengekori seperti biasa di belakang Hinata, mengikuti gadis itu untuk masuk ke apartemen. "Apa kau sudah makan malam? Kau tahu aku bawa apa? Hari ini aku makan malam dengan ayah dan kakek, dan mereka bilang aku harus membawa satu menu susyi untukmu. Cobalah, kau pasti suka." 

Meskipun diabaikan, Naruto masih mengamati Hinata dan mencari sesuatu yang dapat dia jadikan alasan mengapa sikap gadis itu tak acuh kepadanya, sembari itu, dia menuangkan segelas air di dalam gelas, dan memberikannya untuk Hinata, barangkali gadis itu kehausan setelah lelah bekerja sampai mendekati tengah malam. 

"Benar, tidak terjadi sesuatu?"

"Bagaimana sekolahmu hari ini?" dia mencoba memperhatikan Naruto setelah dia menerima segelas air dari pemuda itu. "Apakah akhir-akhir ini menyenangkan?" 

"Aku tidak tahu mengapa kau tiba-tiba penasaran, tapi ya aku akan menjawab akhir-akhir ini sangat menyenangkan. Aku akan pergi ke untuk olimpiade minggu depan. Aku yakin mampu untuk meraih medali sekali lagi sebelum lulus sekolah."

"Bukan itu." 

"Lalu apa?" 

Hinata tidak ingin lagi membicarakan sesuatu yang tidak pasti. Ia tak harusnya mencurigai Naruto hanya karena pacarnya satu sekolah dengan teman kerjanya. Pada waktu itu, mereka berdua mungkin saja bertengkar dan itu cukup masuk akal karena kesalahpahaman dalam kencan buta yang dilakukannya bersama teman-temannya. Naruto tidak mungkin mengungkitnya sampai hari ini, tetapi malam lalu di saat pria itu cemburu karena Toneri bekerja di toserba, Hinata kembali tidak bisa memisahkan kecurigaan tersebut dari pikirannya. 

"Kau sepertinya banyak pikiran," Naruto membelai Hinata sebentar. "Pergilah mandi, kau butuh berendam air hangat, aku akan ada di sini sampai kau tertidur, dan aku akan meletakkan boks susyi di lemari pendingin, besok segera panaskan dengan microwave."

"Apa kau tidak  akan menginap?" 

"Apa kau ingin aku menginap?" 

Hinata tidak tahu mengapa dia ingin bersama Naruto malam ini. Ia hanya tidak ingin kehilangan pemuda itu tanpa disadarinya, atau dia sekadar mencari tahu mengenai kondisi Toneri? Ia mulai kesulitan bahkan di saat dia selesai mandi pun, segala kecurigaan tersebut tidak dapat dienyahkan dalam pikirannya. 

Sudah selesai mandi, Naruto menarik Hinata untuk segera pergi ke ranjang. Sudah lama mereka tidak tidur bersama untuk bercinta. Inilah waktu yang tepat saat mereka sepertinya sama-sama menginginkan. Maka dari itu, Naruto tidak akan melewatkan kesempatan semacam itu malam ini, dan ketika dia melihat tubuh telanjang gadis itu terpampang di atas kasur, Naruto tidak bisa melepaskan pandangannya. Ia menyukai bentuk dada Hinata yang padat. 

"Aku lebih suka jika kau membuka kakimu lebar-lebar," pintu Naruto yang kemudian membungkuk. Naruto menyukai aroma manis Hinata seusai mandi. Ia sering kali berfantasi dengan aroma-aroma yang menguar dari tubuh gadis itu, yang kemudian melenguh dengan gelisah. 

Naruto mencengkeram pinggang gadis itu erat agar tidak banyak bergerak. Tidak ingin menyelesaikan dalam satu permainan, Naruto berhenti sebentar untuk melihat wajah merah Hinata. "Apa hanya seperti itu?" 

"Tidak, ini belum apa-apa," kata Naruto melepaskan seluruh pakaiannya dengan terburu-buru. "Karena besok libur, bagaimana jika melakukannya sampai benar-benar lelah?" 

"Aku tidak yakin memiliki cukup banyak pengaman di dalam laci," Hinata hampir menjerit ketika Naruto menarik pinggangnya saat memosisikan dirinya untuk masuk ke dalam. "Aku tidak suka kau bermain kasar."

"Benarkah? Kau bilang itu sensasi yang mendebarkan."

Hinata meringis ketika pinggul Naruto mulai bergerak. Ia melirik sebentar sebelum memejamkan mata karena sensasi panas mulai menjalar hampir di sekujur tubuhnya. Dia menyukai sesuatu yang tidak terburu-buru, Naruto selalu tahu itu. Dia melakukan semua yang perlu dilakukan dan berpikir untuk tidak melewatkannya, bahkan ketika pemuda itu lagi-lagi menggigit pada titik tertentu, menyalurkan rangsangan yang membuat Hinata lupa pada segala hal, sehingga satu-satunya yang gadis itu pikirkan adalah dia menginginkan Naruto mengisi malamnya. 

□■□■□■□■□

BERSAMBUNG

ORANGE: Hard to LoveWhere stories live. Discover now