□■□■□■□■□
Kedua anak muda itu membiarkan piring dan peralatan memasak menumpuk di bak cuci piring. Di ruang tamu yang menjadi satu dengan kamar, keduanya tampak melupakan semua tugas-tugas kecil yang biasa dilakukan bersama-sama.
Hinata menarik napas sesaat Naruto melepaskan ciuman yang jauh lebih membuat mereka sama-sama bergairah daripada yang pernah mereka lakukan. "Ini tidak akan berhasil," gumam Naruto. "Aku tidak bisa, tetapi aku tidak mau melukaimu," sambung Naruto dengan napas tersengal-sengal, dia memperhatikan Hinata seperti meminta izin, tapi dia tahu itu tidak akan berhasil. Hinata terlihat tidak memiliki keinginan untuk melakukan seks seperti gadis yang ditemuinya. "Aku tidak akan melakukannya jika kau tidak mengizinkannya."
"Apakah itu sakit? Teman-temanku bilang itu sangat sakit."
Bibir Naruto mengatup, sulit baginya untuk menjawab. "Aku tidak pernah melakukannya," bagi Hinata itu terdengar konyol. Pemuda seenergik Naruto tidak pernah melakukannya? Dia jadi mengingat bagaimana Ino memperingatkan Hinata, ada baiknya jangan termakan oleh bujuk rayu laki-laki seperti Naruto. "Sulit dipercaya?"
"Apakah itu penting?" tanya Hinata. "Jika ini bukan yang pertama kalinya bagimu, aku pikir kau memiliki cara agar aku bisa tenang. Pikiranku sudah ke mana-mana, sulit menenangkannya."
Naruto merengut, rupanya dia tidak terlalu paham apa yang dimaksud oleh Hinata. Tidak lama dari itu, Naruto mendengar dering ponselnya. Ia mau tak mau mengambil ponsel itu dan menerima panggilan yang ternyata dari Sasuke, temannya.
"Halo, ada apa?" Naruto mengalihkan tatapannya. "Sekarang?" dia melirik Hinata. "Aku sedang di rumah pacarku, kami baru selesai makan malam," Hinata mengangkat bahunya, dia berusaha memberikan waktu bagi Naruto untuk menerima telepon, tetapi lelaki itu justru menindihi tubuhnya. Hinata dapat merasakan sesuatu yang keras di antara kedua pahanya. "Aku akan tanyakan padanya apa dia mau ikut." Naruto segera menutup telepon.
"Apa ada masalah serius yang sedang terjadi?"
"Apa kau mau pergi ke suatu tempat bersamaku?" Hinata penasaran ke mana Naruto akan mengajaknya, tetapi dia tidak segera mengangguk. "Jika kau tidak mau, aku akan tetap di sini bersamamu, tidak masalah untuk tidak datang ke sana."
"Sepertinya temanmu membutuhkanmu. Pergilah, aku baik-baik saja."
"Aku yang tidak baik-baik saja."
"Kenapa?" Naruto mengunci Hinata di bawahnya. "Apa kau masih ingin di sini? Rindu padaku?"
"Ya, aku sangat rindu, sampai aku ingin tinggal di sini bersamamu," menarik kedua tangan gadis itu di atas kepala lantas mencengkeramnya, Naruto kemudian menyelusupkan wajahnya di antara pundak hingga ceruk leher. Ia menandai gadis itu agar semua orang yang melihatnya tahu, bahwa gadis ini sudah dimiliki, dan tak seorang pun boleh menyentuhnya kecuali dia. "Aku suka wangi tubuhmu, membuatku semakin bergairah."
Hinata merasakan sesuatu melewati perutnya. Matanya terpejam kuat, merasakan sensasi terbakar di sekujur tubuh tidak membuatnya nyaman. Apa sensasi terbakar seperti ini yang sering dirasakan oleh Ino dan membuat temannya sangat menyukainya? Hinata awalnya kurang nyaman, tapi lama-lama dia menginginkan sesuatu yang lebih—jauh dari harapannya bahwa dia membutuhkan ciuman selamat malam. Hinata justru menyukai setiap sentuhan yang bertubi-tubi datang menyerang.
Tidak lama dari berkutat dengan pikiran yang sudah melayang. Hinata merasakan sesuatu menyelinap masuk ke kewanitaannya. Jari-jari Naruto terasa panas di sana, dia terlalu malu mengeluarkan sepatah kata, bahkan erangan kecil yang terkadang lolos tanpa disadarinya.
"Tidak apa-apa, Hinata," bisik Naruto ke telinganya, lalu dia membiarkan gadis itu memeluknya. "Jika kau tidak suka kau bisa mendorongku, aku akan berhenti," Hinata menggelengkan kepalanya. "Apa kau mau melakukannya bersamaku?" Hinata mengangguk. "Kau punya kondom?"
"Tidak, aku rasa tidak membutuhkannya, aku tidak mengira bahwa itu bagian yang paling penting untuk dibawa ke mana-mana," jawabnya.
"Kita tidak mungkin turun ke bawah untuk membelinya."
"Tentu saja."
"Apa kau mau melakukannya tanpa kondom?" Hinata terlihat ragu-ragu, tetapi dia menginginkannya, dia tidak mungkin membiarkan seluruh perasaan itu menghilang hanya karena sesuatu seperti tidak adanya kondom. Ada banyak cara agar dia tidak hamil. "Kau mau aku mengeluarkannya di luar?"
Hinata mengangguk, sementara Naruto mencium pipi Hinata, dan setelah itu melepas kaus dan celananya.
"Jangan lakukan apa pun, biar aku yang melakukannya untukmu."
Hinata mengalihkan tatapannya dengan segera karena dia belum terbiasa melihat seorang pemuda telanjang di depannya. Dan apakah setelah ini dia harus melakukannya? Melepaskan seluruh pakaian itu dan mereka bermalam tanpa sehelai benang pun?
"Lihat aku, Hinata," kedua mata Hinata mencermati setiap lekuk tubuh Naruto. Pemuda itu memang memiliki tubuh besar daripada remaja seusianya, dengan biseps yang kekar dan menonjol.
Hinata menarik napas setiap Naruto menyentuh tubuhnya, selagi pemuda itu membantunya melepaskan kaus yang dikenakan olehnya.
Di tempatnya, Naruto menertawakan Hinata, sementara Hinata mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu. Ia tak pernah sekalipun mengenakan bra jika di rumah, entah mengapa menjadi sesuatu yang disesali secara terlambat. Hinata tampaknya malu pada kebiasaannya.
"Setiap kau hanya mengenakan kaus tipis tanpa apa-apa, aku berpikir kau mengundangku yang lapar," Hinata tak pernah peduli dengan tatapan Naruto selama ini, karena dia berpikir pria itu tidak akan pernah berani menyentuhnya
Saat Naruto memeluknya, pemuda itu membisikkan kalimat-kalimat menenangkan, tapi tak cukup berhasil begitu rasa sakit di bawah perut membuatnya meringis dan tanpa sadar mencengkeram rambut pirang lelaki itu.
Air mata pun mengalir, tapi hanya sesaat dan setelahnya digantikan oleh kenikmatan-kenikmatan yang dia bayangkan seperti saat Ino, temannya, menceritakan bagaimana rasanya bercumbu dengan seorang pria, sementara semua cerita itu tampak terasa nyata sekarang. Ia tahu apa yang Ino sampaikan itu benar-benar memabukkan, sampai kau tidak perlu lagi sesuatu yang menyenangkan daripada sentuhan lembut dan bergairah.
"Aku akan keluar!" Naruto berseru dan melepas pelukan itu sambil memastikan bahwa cairan-cairan lengket itu keluar di atas perut Hinata. Ia berusaha tak hilang kesadaran atas permainan yang mereka lakukan.
Naruto kemudian menjatuhkan dirinya di samping Hinata, tidak lama dari itu dia memeluk gadis itu, mengajaknya untuk beristirahat sejenak.
"Kau baik-baik saja Hinata?"
"Ya, aku baik-baik saja."
Hinata sedang mengatur napas, lalu dia melirik Naruto yang sudah lebih dulu menatapnya, dengan pandangan yang benar-benar mengkhawatirkan dirinya. "Kau tampak tidak baik."
"Apa kau benar-benar harus mengatakan hal itu sekarang?" Hinata tidak menyukainya, karena dia pikir sebaiknya Naruto memeluknya dan menghiburnya setelah apa yang mereka lewati untuk pertama kalinya. "Peluk aku!"
Sebelum Naruto benar-benar memeluk Hinata, dia tertawa. "Maaf, aku tidak tahu kalau kau ingin dipeluk. Aku hanya takut sudah membuatmu tidak nyaman," katanya kepada gadis itu. "Apa sebaiknya kita tidur? Atau kita pergi ke suatu tempat?"
"Soal temanmu?"
"Oh, apa kau mau ke sana bersamaku? Tempat itu terlihat seperti kelab malam bagi remaja di Jepang. Kau bisa menikmati minuman secara ilegal, dan ada banyak permainan. Kau bisa menikmati apa pun yang kau suka di sana."
"Aku tidak pernah pergi ke tempat seperti itu."
"Benarkah?"
"Tapi, anak-anak di sekolahku sering membicarakan kelab malam rahasia. Aku tidak tahu apakah itu sama dengan tempatmu bermain."
Naruto tiba-tiba duduk, lalu mengajak Hinata. "Ayo, kita pergi ke sana. Kau pasti akan menyukainya."
□■□■□■□■□
BERSAMBUNG
YOU ARE READING
ORANGE: Hard to Love
FanfictionSaat pertama tidak sengaja bertemu dengan Hinata Hyuuga, Naruto Uzumaki tahu bahwa itu adalah cinta pada pandangan pertama. Dia menghampiri gadis itu setiap hari, di sekolah, tempat kerja sambilan, dan apartemen, yang tak pernah Naru kira dia bisa k...