BAB 25

100 22 0
                                    

VOUCHER KARYAKARSA TERBARU:

Kali ini aku masih punya voucher Karyakarsa lainnya yang bisa kalian gunakan, dengan mencantumkan "HALOJUNI5" (tanpa tanda petik), agar mendapatkan potongan sebesar Rp. 5000,-, berlaku untuk semua karya. *terbatas

□■□■□■□■□

Minato tidak suka keluar rumah, sejak insiden di masa lalu yang membuatnya lebih suka terjebak di rumah kaca untuk merawat mawar-mawar kesayangan istrinya. Tapi untuk pertama kalinya sejak dia memutuskan melakukan apa pun di rumah, seperti sengaja terpenjara dari dunia, ia keluar untuk mengunjungi sang ayah di rumah penuh kenangan tersebut.

Di tempatnya Jiraiya tampak tidak yakin jika putranya pulang ke rumah, karena yang biasanya datang adalah orang-orang suruhannya, tidak sekalipun berpikir anak itu mau menginjakkan kakinya ke rumah setelah kematian ibunya karena depresi. Seperti yang pernah dilakukannya di masa lalu, Jiraiya sering kali menyambut anak itu di depan pintu, menyapanya dan mencoba menunjukkan kasih sayangnya sebagai seorang ayah, tetapi kali ini Jiraiya yakin, putranya terlalu tua untuk disambut seperti itu.

"Aku tidak pernah semerinding ini," bibir Jiraiya menyungging, sejujurnya karena dia tidak tahu ekspresi macam mana yang sepantasnya ditunjukkan olehnya. Jika dia berlaku berlebihan, mungkin Minato tidak akan nyaman. "Masuklah, kau harus menyapa ibumu di dalam, kau sudah lama tidak pulang ke rumah."

Minato melanjutkan langkahnya untuk menuju altar sembahyang para leluhurnya, juga altar di mana ibunya ditempatkan, sambil berkata dengan penuh penyesalan, "Maaf, Bu, aku baru bisa pulang."

Di samping bingkai pintu ruang sembahyang, Jiraiya memperhatikan serius. Jika istrinya masih hidup, wanita itu pasti akan bahagia dengan kedatangan putra kesayangannya. Sampai akhir hidupnya pun, istrinya tak mau menyalahkan siapa pun apalagi putranya yang membuatnya merasakan penderitaan tak terkira. Wanita itu menyadari satu hal, bahwa perasaan tulus itu tak sepantasnya disalahkan, karena dia pernah berada di dalam masa-masa muda, ia tahu bagaimana penderitaan putranya.

Setelah mengunjungi altar sang ibu, Jiraiya mengajak ke bagian belakang di antara hutan bambu yang biasa digunakannya untuk mencari penghiburan. Angin siang itu lebih sejuk karena mungkin akan memasuki musim dingin. Seorang pelayan datang memberikan jubah kesayangan Jiraiya yang dirajut oleh istrinya, sementara Minato menerima jubah tersebut, lalu dipakaikan ke tubuh sang ayah, menggerutu untuk dirinya sendiri, bahwa dia harusnya lebih perhatikan kepada pria tua tersebut.

"Kau ingin mengatakan sesuatu, Nak?"

Minato berjalan mundur agak menjauh, lalu dia membungkuk sehingga membuat Jiraiya sangat terkejut. "Terima kasih, Ayah," seru Minato yang berkata dengan tulus, tidak keburu untuk kembali berdiri setelah mengucapkan itu. "Jika bukan karena Ayah, aku tak tahu sampai kapan harus merahasiakan ini dari Naruto. Maaf, karena aku terlambat untuk mengatakan semuanya kepada anak itu."

Terdiam di tempatnya, Jiraiya bahkan tidak tahu apakah dia perlu menyeka air mata yang mungkin menggenang dan siap terjatuh. Tapi dia hanya mengeratkan mantelnya lantas memperhatikan putranya yang kembali berdiri tanpa terlihat goyah.

"Setiap aku ingin mengungkapkan semuanya, aku merasa tidak pantas anak itu tahu apa yang terjadi di antara kami berdua. Saat itu, aku memutuskan untuk pergi ke sana, karena aku yakin, satu-satunya orang yang berhak melakukannya adalah aku. Anak itu tidak perlu mengotori tangannya sendiri. Jika aku salah untuk berpikir seperti itu, Ayah boleh menyalahkan aku."

Jiraiya berpikir jika istrinya masih hidup, wanita itu mungkin saja akan berlari ke arah Minato dan langsung memeluknya, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja sekarang. Minato tidak harusnya mengkhawatirkan hal itu, karena semuanya telah berlalu. Akan tetapi, Jiraiya tidak bisa bersikap bahwa putranya adalah anak-anak yang masih harus diperlakukan seperti itu. Maka dia hanya tersenyum dan menepuk pundaknya lembut.

ORANGE: Hard to LoveWhere stories live. Discover now