BAB 13

119 18 0
                                    

□■□■□■□■□

Sudah tampak jelas kalau itu bukan ciuman pertama bagi Naruto Uzumaki yang kerap pulang dan pergi bersama seorang gadis dari sekolahnya atau sekolah mana pun, setiap mereka berjumpa di atap untuk acara pesta mengenai hal kebebasan bagi anak-anak remaja di Jepang.

Malam itu hanya ada debaran kencang dari jantungnya, terasa seperti setrum-setrum kecil itu membangkitkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Ia tak mau bilang pada Hinata kalau dia sangat tegang hanya karena ciuman itu, sekalipun tak pernah dia rasakan bersama gadis lain.

Apa mungkin Hinata akan kecewa kepadanya kalau dia mengaku ini bukan ciuman pertamanya? Seluruh perasaan mendebarkan yang tidak pernah dia dapatkan selama ini selama berciuman, itu sesuatu yang tidak bisa dilupakannya. Hanya saja, dia tidak mungkin mengakui semua itu, Hinata pasti akan kecewa padanya, tapi Naruto penasaran dengan reaksi gadis itu bila dia mengakuinya.

Naruto mendorong Hinata menjauh, mereka sama-sama menghirup napas setelah itu. "Maaf, aku melakukannya tiba-tiba, aku yakin kau tidak suka dengan tindakanku." Hinata mengimbangi ciumannya, bagaimana bisa gadis itu tidak suka. Kalau Hinata sejak awal tak suka dengan bibir yang saling menyentuh, mereka pasti tidak akan melanjutkan itu. "Hinata, kau baik-baik saja?"

"Kau mahir. Apa ini bukan yang pertama kalinya?"

Kepala Naruto bergerak, dia mengangguk kecil, dan takut bahwa jawaban itu akan melukai Hinata. Tapi sepertinya tidak begitu. "Apa kau tidak suka?"

"Ciumannya?"

"Bukan. Soal ini bukan pertama kali bagiku," Hinata diam saja, tidak menjawab, semakin membuat Naruto gundah. "Hanya saja, perasaan mendebarkan itu hanya denganmu saja. Aku tidak pernah merasa berdebar berciuman dengan gadis mana pun. Hanya denganmu, aku jujur mengatakannya."

Tentang keunggulan, Naruto tidak pernah merasa memilikinya dan tak sekalipun memikirkannya. Kenyataan yang ada, justru hari ini, malam yang dipenuhi oleh suara petir dan deras hujan di luar, dia memikirkan semua itu agar Hinata mau meliriknya. Ia akan senang kalau penyampaian itu dapat berdampak bagi pengakuan cintanya.

"Tidak seperti hari itu, aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan lagi mudah mengklaim sesuatu. Kita berteman, oke? Kita hanya berteman, aku tidak akan memaksa untuk mengakui hanya karena ciuman ini. Kau jangan khawatir."

Hinata tidak dapat menutupi bahwa kepanikan Naruto benar-benar lucu. Dia tertawa di tengah hubungan ketidakpastian itu, ketakutan-ketakutan yang dialami oleh Naruto pun segera mereda. Dia tersenyum lembut, lalu mengusap kepala Hinata.

□■□■□■□■□

Pada pagi hari, mereka berdua berhasil keluar dari kediaman keluarga Uzumaki. Naruto meminjam mobil dari garasi, lalu mengantar Hinata pulang ke apartemennya, dan melihat pria berambut panjang itu sepertinya menunggu sejak semalam di depan tempat tinggal Hinata.

"Naruto, aku belum memperkenalkanmu, dia Neji, sepupuku, sudah seperti kakakku sendiri."

Tangan Naruto ke depan Neji. Berpikir bahwa dia harus mendapatkan kesan baik agar semua berjalan dengan lancar. Hubungan mereka hari ini mungkin sebagai seorang teman, tapi pasti akan ada kemajuan nantinya, dan dia tidak boleh membuat Neji menghalangi hubungan itu.

"Aku Naruto Uzumaki dari St. Konoha High, sepertinya kita pernah bertemu, tidak hanya di gerbang sekolah Tokyo. Kau pernah ke St. Konoha, bukan?" napas panas Neji menyembur, tetapi dia tidak keburu membalas Naruto, ia melirik Hinata yang ada di sampingnya, tersenyum canggung, berharap Neji tidak membuat keributan seperti yang lalu-lalu.

Neji menyerah. "Neji Hyuuga, dari Tokyo High."

Di samping, Hinata senang menemukan perubahan Neji dan Naruto, bahwa mereka tidak bertengkar, dan hal-hal semacam itu ke depannya tidak akan pernah terjadi. Begitulah bayangan Hinata.

"Masuklah, Hinata, aku ingin berbicara dengannya sebagai seorang kakak."

"Neji," Neji melirik tajam. "Baiklah," Hinata menghela napas, dia tidak dapat berkutik sekarang, dia tahu kalau dia baru saja membuat kesalahan dengan pulang pagi-pagi sekali bersama seorang anak laki-laki, yang tidak pernah dilakukannya selama ini. Semoga ayahnya tidak tahu masalah ini, dan berharap Neji mau bernegosiasi bersamanya nanti. "Ingat, kalian tidak boleh bertengkar!"

Tidak ada yang membalas, Hinata kemudian masuk ke dalam apartemennya meninggalkan dua anak laki-laki yang sudah bersitegang sejak pertemuan pertama mereka dan dilanjutkan di sini.

"Apa kau tidak tahu kalau ada aturan tidak boleh membawa seorang gadis menginap tanpa persetujuan keluarganya?" Naruto meringis, sejujurnya dia baru tahu itu. "Kau tidak bisa membawanya semaumu. Hinata adalah anak baik-baik dan jangan disamakan seperti anak-anak sinting yang berpesta di Atap sepulang sekolah hanya demi kebebasan remaja."

"Oh," Naruto pura-pura terkejut. "Kau tahu tentang Atap?" tangannya pun bertepuk. "Aku tidak menyangka kau tahu tempat itu, sekelas anak yang sepertinya teladan. Apa kau pernah ke sana? Apa kau tahu tempat itu aku yang membuatnya? Jika kau memang pernah ke sana, seharusnya aku tahu kau—kau menyebut itu di sini sekarang, apa ingin perlakuan khusus? Baiklah, tidak masalah, karena kau kakak sepupu Hinata, kau akan mendapatkannya nanti."

"Berhenti bicara omong kosong!" Naruto menelengkan kepala di saat Neji meninggikan suaranya. "Kau hanya ingin merusak Hinata, 'kan? Jika terjadi sesuatu pada Hinata—saat kau membuatnya menangis, aku akan benar-benar membunuhmu."

"Ehh? Kau yakin?" Neji menggertakkan gigi karena dia sangat marah. "Benar?" Naruto melangkah ke depan Neji, lalu berbisik. "Apa kau benar-benar bisa membunuh seseorang?" tubuh Neji tiba-tiba membeku. "Aku juga tahu bagaimana caranya, dan itu sangat menyenangkan," bisik Naruto.

Neji mendorong Naruto menjauh, lalu dia mendaratkan tinjunya ke rahang Naruto. "Bajingan!"

Mendengar keributan di luar, Hinata keluar, menemukan Naruto terjatuh dengan bibir yang terluka. "Naruto!" Hinata mendekati dan memeluk Naruto, melindunginya dari Neji. "Apa yang kaulakukan, mengapa kau melakukan ini kepadanya?"

"Kenapa kau keluar lagi?" Hinata mendongak, menatap Neji kesal. "Masuk!"

"Lalu, kau akan menghajar dia lagi?" di dalam pelukan Hinata, Naruto diam-diam tersenyum kemenangan, dan itu semakin membuat Neji merasa kesal. "Dia pacarku!" teriak Hinata. "Kau melukai pacarku, Neji!"

Seperti petir di siang bolong, Neji terperangah oleh kalimat Hinata. "Apa?"

"Kami berpacaran."

"Hinata, kau pasti sudah gila harus berpacaran dengan dia. Kau bisa mendapatkan anak laki-laki yang lebih baik darinya," Neji menjelaskan, dan dia masih tidak dapat percaya bahwa adiknya harus berhubungan dengan laki-laki itu. "Hinata."

Hinata mengabaikan Neji. Ia membantu Naruto berdiri dan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumahnya, membiarkan Neji di depan sana, dan berharap kakak sepupunya mau merenungi kesalahannya.

Sampai di dalam, Hinata tidak bisa berhenti mengutuk Neji. "Dia pasti gila. Dia tidak pernah melakukan hal sembrono seperti ini. Mohon maafkan, Neji. Dia pasti kurang tidur."

"Oh, tidak masalah. Aku mencoba berteman dengannya, tapi dia tiba-tiba memukulku. Pasti dia membenciku, 'kan?" Hinata mencermati pipi Naruto yang lebam, Neji pasti memukulnya dengan kekuatan penuh, pikir Hinata. "Aku yang salah."

Hinata tidak bisa percaya bahwa Naruto harus menyalahkan dirinya sendiri. "Mengapa kau yang salah? Kau tidak salah apa-apa. Dia memang terlalu berlebihan kepadaku. Tidak hanya padamu saja, Neji akan berlaku sama pada anak laki-laki lain yang mencoba mendekatiku. Aku sudah tahu itu akan terjadi suatu hari nanti."

Tidak ingin melewatkan momen di antara mereka, Naruto menarik Hinata ke dalam pelukannya. "Kau tidak bisa menarik kata-katamu, Hinata."

"Kata-kataku?"

"Kau sudah mengakui tadi, kalau aku pacarmu," Hinata mendorong Naruto, mengalihkan tatapannya kemudian. "Apakah benar aku pacarmu?"

□■□■□■□■□

BERSAMBUNG

ORANGE: Hard to LoveWhere stories live. Discover now