BAB 21

111 19 0
                                    

VOUCHER KARYAKARSA:

Bagi kalian penikmat karya-karyaku di Karyakarsa, kalian bisa memasukkan voucher untuk bulan Juni ini dengan "HALOJUNI" (tanpa tanda petik), sebesar Rp. 10.000,-. Berlaku untuk semua karya. Voucher tersebut juga bisa digunakan untuk baca gratis, bagi kalian yang mendukung karya dengan nominal yang sama. *terbatas

□■□■□■□■□

Semakin dekat dengan Hinata, semakin Naruto tahu apa yang dinamakan sebagai kehilangan. Dan tragedi yang menimpanya membuatnya berjuang untuk mempertahankan gadis itu di sisinya. Ia tak mungkin bersikap pecundang seperti ayahnya yang meninggalkan dia dan ibunya di suatu tempat sendirian. Rumah desa tua dan mobil sedan pesuk pun tak pantas dikendarai pada waktu itu. Namun wanita seperti Kushina, ibunya, tak pernah peduli dengan apa yang mereka punya, bahkan tak sekalipun mengeluhkannya. 

Sepulang dari menginap di rumah Hinata, setelah dia terkena demam dan bangun tanpa gadis itu di sampingnya, Naruto pergi ke rumah kakeknya, karena satu-satunya yang dia pikirkan adalah bersinggah ke rumah pria tua itu. 

Memasuki pekarangan, disambut baik oleh beberapa pelayan dan penjaga, Naruto melewati jalan menuju ke hutan bambu di dekat paviliun di mana kakeknya sering kali menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku klasik. Seperti biasa, pria tua itu duduk di kursi dengan meja dipenuhi oleh kudapan, tak lupa teh hijau kesukaannya, pun cerutu tua favoritnya. 

"Tumben sekali mendadak datang, biasanya kau mengirim pesan ke Kepala Rumah Tangga," Naruto duduk di kursi kedua di mana biasanya sang nenek duduk di sana, sementara Naruto tak benar-benar mengenal neneknya pada waktu itu, karena beliau jatuh sakit dan meninggal saat Naruto masih bayi. "Kau butuh uang saku, Nak? Berapa yang kau butuhkan?"

"Bukan itu." 

"Lalu, apa kau lagi-lagi bertengkar dengan Ayahmu? Pasti setelah ini dia menghubungi ke sini dan bertanya, apakah kau ada di sini." 

"Aku habis dari rumah Hinata," Jiraiya melorotkan kacamatanya, lalu meletakkan cerutunya di celah asbak. "Aku terserang demam tadi malam, tapi sekarang sudah baik-baik saja." 

"Astaga, apa aku perlu memanggil dokter. Kau masih kelihatan pucat sekali. Kau pasti butuh sarapan," Jiraiya mengangkat tangannya, datanglah seorang pelayan segera ke hadapannya. "Tolong siapkan sarapan untuk Naruto, terutama penuh dengan makanan laut agar dia punya stamina lagi. Lihat saja wajahnya, seperti anak laki-laki yang tidak diurus keluarga, dan tolong siapkan pakaian untuknya." 

Biasanya, Naruto tidak senang kakeknya mempersiapkan berlebihan kebutuhannya, selebihnya dia tidak ingin dianggap anak kecil lagi. "Kek, aku ingin tanya sesuatu." 

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

Naruto memikirkan benar-benar apa yang menjadi keputusannya. "Kalau aku melakukan perawatan lagi, apakah Kakek akan setuju? Kakek pasti membantuku, 'kan?" Jiraiya hampir tidak bisa percaya dengan itu. "Akhir-akhir ini aku terlalu banyak bersikap impulsif. Selain itu, aku memiliki banyak pikiran jahat. Aku menjadi lebih pemarah. Jika aku jujur kepada Hinata, apa menurut Kakek dia masih mau bersamaku? Dia pasti tidak suka punya kekasih dengan riwayat kejiwaan yang tidak stabil. Hinata pasti akan takut padaku, 'kan?" 

Jiraiya adalah tipe laki-laki yang selalu mengedepankan rasionalitasnya daripada omong kosong yang membuat hati anak itu sakit. Ia tak bisa menghibur Naruto dengan mengatakan bahwa gadis itu akan menerimanya meskipun kejiwaan itu dapat mengganggu hubungan mereka. Dan ketika Jiraiya terdiam, Naruto tak dapat menyangkal semua ketidakbenaran dari kekhawatiran yang sedang dia pikirkan. 

"Pasti tidak mungkin."

"Kau bisa membicarakannya baik-baik—pelan-pelan saja, semuanya butuh waktu." 

ORANGE: Hard to LoveWhere stories live. Discover now