BAB 6

21.4K 1.5K 14
                                    

Beberapa hari ini Neina memang tidak pergi ke kampus sama sekali karena ia memang tidak sanggup. Pagi ini, keadaannya mulai membaik dan Neina memutuskan untuk mandi setelah beberapa hari ini ibunya melarangnya mandi karena demamnya yang sangat tinggi.

Neina memilih untuk mandi dengan air hangat dan membersihkan tubuhnya. Rasanya begitu menyenangkan bisa terkena air apalagi air hangat seperti ini. Begitu menyegarkan bagi tubuhnya yang tidak kena air selama beberapa hari belakangan.

Seusai mandi, Neina memilih memakai sweater karena cuaca diluar juga hujan dan dingin. Ia lalu memilih turun ke bawah karena berada di dalam kamar selama beberapa hari membuat merasa jenuh.
Neina ke dapur hendak membuat coklat panas karena ia benar-benar menginginkannya. Ia mulai menyeduh coklat bubuk yang dibawa pulang oleh ayahnya langsung dari Belgia.

“Gimana keadaan kamu?” tanya Kak Adel yang kini menyusulnya ke dapur.

“Masih pusing sedikit, Kak.”

“Sini, kakak aja yang bikin coklatnya. Kamu duduk aja dulu.” Adel memaksa lalu merebut cangkir dari Neina dan membiarkan adiknya duduk. Ia mulai menyeduh coklat untuk Neina.

“Payung waktu itu, udah balikin, ‘kan?”

Adel mengangguk. “Tante Ola nanya kok bisa payungnya sama kakak. Tapi, kakak bilang, itu payung dari kamu dan Mas Farraz yang pinjamin ke kamu.”

“Terus?”

“Ya udah tante Ola cuma senyum aja. Terus, kakak langsung pulang soalnya emang nggak lama disana.”

Tak lama Adel menyerahkan coklat itu ke hadapan adiknya. Ia memilih duduk di sebelah Neina sambil menatap wajah adiknya yang kemarin terlihat pucat kini berangsur membaik.

“Kamu sama Mas Farraz ada hubungan apa sih, Dek? Kayaknya deket banget sampai dia pinjami payung ke kamu.”

Neina menghela napas pelan lalu menggeleng. “Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Farraz, Kak. Cuma kebetulan aja kemarin dia nawarin aku untuk ke parkiran bareng soalnya udah sore, nggak ada siapa-siapa lagi di kampus, hujan juga lebat banget makanya gitu deh.”

Adel menyipitkan mata curiga. “Selain itu nggak ada ketemu lagi?”

Neina terdiam sejenak membuat kecurigaan Adel semakin menjadi.

“Ada ‘kan? Dimana?”

Menghela napas pelan, Neina bergumam. “Di gramedia waktu aku antar Ica beli buku. Eh, malah nggak jadi kebeli karena Ica memilih bermain sama Aziz.”

“Jodoh emang,” gumam Adel membuat Neina melebarkan matanya.

“Ih, apaan sih.” Neina menipiskan bibirnya setelah menyesap coklat hangat itu. “Lagian seperti yang kakak tahu, Pak Farraz nggak akan bisa lupain mantan isterinya.”

“Bukan nggak akan, tapi belum melupakan.” Adel menyahut cepat. “Siapa tahu kan, dia mulai tergerak hatinya untuk deketin kamu.”

“Udah ah, nggak usah ngomong aneh-aneh.” Neina benar-benar malas membahas hal itu. “Lagian, cewek yang lebih kaya, cantik dari aku juga di tolak mentah-mentah sama dia.”

“Cewek itu kan bukan kamu, dek.” Adel bertingkah jahil. “Siapa tahu dia tertarik sama kamu.”

“Ih, udah ah!” seru Neina memotong pembahasan yang dihindarinya itu. Ia benar-benar tidak ingin diberi harapan apapun karena hatinya juga mulai merasa debaran itu sehingga Neina memilih untuk mengabaikannya dan tidak ingin berharap lebih. Sejujurnya jatuh Cinta pada Pak Farraz bukanlah hal sulit, apalagi dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh laki-laki itu terlihat tak bercela.

My Husband is Duda (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang