Merenungi diri disudut ruangan, Big shot menertawakan secuil harapan yang tersirat dalam pikiran. Sangat mustahil, tapi tetap saja ia berharap ada kemungkinan itu.
Tak sengaja melihat kehadiran punggung seseorang yang ia kenal, Big shot beranjak dan berpegang kuat pada besi jeruji.
Mungkinkah pria yang ia panggil 'paman' datang untuk memberi kesaksian yang membantunya?
Tapi kemungkinan ini sangat kecil.Seketika wajah Big-shot kembali sayu. Genggaman tangannya melemah, ia berjongkok hingga kepalanya menyentuh jeruji dingin.
Rose pasti sedang menangis di suatu tempat. Dan Big-shot yakin wanita itu akan membuat perhitungan. Ia tak membunuh, tapi bagaimana menjelaskan. Kalau saja Rose mau datang dan mereka bertemu.
Phew..
Helaan nafas frustasi meluncur begitu saja..
"Saudara yakin kesaksian saudara bisa dipertanggungjawabkan?" Pria muda berseragam kembali memandangi saksi.
Tok..tok..
Kepalan tangan mengetuk dua kali di atas meja menyadarkan pria brewokan dari lamunan.
"Saudara Dae-sung, saya tanya sekali lagi, apakah saudara yakin kesaksian saudara bisa dipertanggungjawabkan?"
"Yakin."
.
"Kau baik-baik saja?"
Mendongakkan kepala, setelahnya Big-shot menyamakan posisi. "Aku tidak membunuh dia. Aku tidak membunuh siapapun."
Masih dengan rambut depan keriting yang menutupi sebagian wajahnya, pria yang dipanggil Dae-sung itu memperhatikan Big-shot. Ia menanggapi ucapan Big-shot dengan deheman.
Tentu ia tahu Big-shot tidak membunuh. Pada waktu kematian pria yang pernah membuang dompetnya ia sedang bersama Big-shot. Dae-sung mengawasi Big-shot memanggul beberapa karung es kristal. Ia tak mungkin salah. Segar dalam ingatan, ia melirik jam dinding usang yang menunjukkan waktu pukul 22.32 dan ia malam ini tak bisa pulang awal. Ini membuatnya kesal.
"Paman. Paman mendengarku?"
"Beristirahatlah. Aku pergi."
Begitu saja pria itu berlalu dan tak sekalipun berpaling. Padahal Big-shot sangat berharap ia mengiyakan apa yang Big-shot katakan. Andai ada seorang saja yang percaya padanya, ia akan sangat puas.Aku bukan pembunuh. Sungguh.
_
Sepeninggalan keponakannya, Rose tetap menjalani hari seperti biasa. Tidak. Kerjaannya kini berlipat. Ia tak punya lagi kaki tangan yang membantu. Segala kesibukan wanita paruh baya itu kerjakan sendiri. Mulai dari menyiram, memupuk sampai mengambil hasil.
"Rose, kalau sedih menangis saja. Kau tak perlu bersikap sok tegar." Gum coba menghibur.
"Pulanglah. Aku ingin sendiri."
"Orang itu__
Kau akan membiarkan dia?"Melirik tak puas pada Gum, Rose mengulang kalimat sama. "Pulang. Jangan kembali kemari sampai ku minta."
"Ki-yong_ dia_"
"PERGI. KAU TULI?"
Tersentak oleh tampang tak bersahabat, Gum beranjak cepat hingga dengan mudah ia kini berada diluar pintu.
"Dia benar-benar sudah tidak waras. Kenapa melampiaskannya padaku?" Ocehnya..
.
.
Incheon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfections (On Going)
FanfictionMemiliki masa lalu kelam, menjadikan Jin-ah maupun Daesung hidup terpisah dengan keluarga. Menutup diri dari keadaan sekeliling jadi pertahanan tersendiri, setidaknya begitulah pikir Daesung. Hidup seorang diri diusianya yang lebih dari setengah aba...