bagian 15.

31 4 0
                                    


Kerasnya suara Goongmin terdengar hingga ke kamar Dali. Wanita yang tadi hendak melangkah keluar itu mengurungkan niat. Tas selempang berwarna kulit dilemparnya ke sisi ranjang. Gadis itu menyeringai, merebahkan bokong ke sudut tempat tidur.

Goong-min selalu tak bisa mengontrol emosi. Selama tinggal bersama, tak sehari pun dia tidak marah. Tak dapat dimengerti kenapa pria berumur sepertinya menjalani hidup yang demikian. Punya banyak uang, tapi tak tahu bersenang-senang. Mobil yang pria itu kendarai pun sudah butut. Lihat saja rumah besar yang mereka huni saat ini, telah dimakan usia. Tak ada pemugaran.

"Apa begini caramu membalas kebaikan paman padamu? Akhir-akhir ini kau semakin keterlaluan. Anak itu sungguh membawa pengaruh buruk untukmu."

Ji-hyun melakukan perang tatapan dengan mata basah. Bibir bawahnya mengigit bibir atas karena kesal. Orang tua satu ini benar-benar keras kepala dan tak mau disalahkan.  

Jae min yang kebetulan baru masuk, menukar sandal hendak memasuki ruang keluarga. Namun tangannya ditahan sang ibu. Wanita rambut kering itu menggeleng pelan. Sebaliknya menarik putranya ke arah dapur.

"Ayahmu sedang marah besar pada Ji-hyun karena memihak Jin-ah. Sebaiknya jangan kesana dan menambah kekesalannya."

"Kali ini apa lagi, Bu?"
Dia duduk di meja makan.

"Jin-ah tidak pulang. Anak itu benar-benar tak bisa diatur." Ujarnya sembari mengambil mangkok yang terletak didalam kabinet atas dapur.

Retina Jae-min bergerak mengikuti pergerakan ibunya yang kini bergerak menuju arah letak rice cooker. Wanita itu tengah memindai nasi untuknya.

"Bu, Jin ah sudah bilang padaku. Aku memberinya ijin. Kenapa perlakuan ayah dan ibu sangat berbeda padanya. Terutama ayah. Apa karena dia pernah dipenjara?"

"Hush! Tutup mulutmu. Jangan lagi mengingatkan masalah itu. Kalau sampai kedengaran ayahmu_ "wanita itu menghela nafas. Menderap ke arah meja, menempatkan mangkuk nasi dihadapan Jae min, duduk disebelah.

Beberapa lauk dipindai ke mangkuk kecil.
"Makan! Tunggu apa lagi."
Menatap yang tersaji, Jae-min melunak. Menyentuh punggung tangan sang ibu, memintanya menasehati sang ayah yang terkenal keras kepala.

"Hanya ibu yang bisa melakukannya. Ayolah Bu. Jin ah tidak seburuk itu. Dia dipenjara bukan karena benar-benar bersalah. Dia dijebak. Kita adalah keluarganya. Harusnya kita mendukung, bukan menjatuhkannya."

Menaikkan pandang,
Istri Goongmin merasa apa yang dikatakan putranya ada benarnya. Setelah dipikir mereka sangat tak adil pada ponakan satu itu. Mereka memperlakukan Jin-ah sangat berbeda dengan perlakuan mereka pada Ji-hyun.

Wajar timbul keinginan Jin-ah memberontak. Andai perlakukan mereka adil, mungkin Jin-ah betah. Haruskah kalimat ini ia teruskan pada suaminya?

"Akhir-akhir ini, bagaimana hubunganmu dengan Ji-hyun? Ibu lihat kalian semakin renggang." Ucapan istri Na tertahan. "Kau sering berkunjung ke rumah sakit?"

Jae-min mengangguk dengan mulut penuh. Tak mengerti kenapa ibunya bertanya tiba-tiba.

Lengannya dihadiahi pukulan.

"Bu_" butiran nasi menghambur keluar.

"Kau? Kau tak jatuh hati padanya kan? Ingat, kau sudah bertunangan. Ibu tak mau_"

Segera Jae-min menelan sisa kunyahan. Mengalihkan pandang ke asal suara. Ibu Na terlalu berlebihan. Apa salahnya mengunjungi sepupu.

"Ibu berpikir terlalu jauh. Aku dan Jin-ah sebaya. Dia sangat dewasa, Bu. Mengajaknya berbicara sangat menyenangkan."

Imperfections (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang