Hinata membuka coatnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Untung saja coat berwarna coklat itu dapat diajak bekerja sama dengan terdampar di atas tempat tidur. Lututnya lemas dan Hinata tahu sepanjang garis punggungnya dibasahi keringat. Hinata merasa mual akibat kejadian yang baru saja terjadi di kantor kajaksaan tadi. Pertemuannya dengan pria-pria itu mengguncang jiwanya. Meskipun Hinata sudah mempersiapkannya dengan amat baik, dia tetap merasa tidak baik-baik saja setelah menatap langsung pria-pria dari klan terkemuka tersebut.Beberapa saat lalu Hinata meninggalkan kantor kejaksaan dengan kepala yang terangkat tinggi dan bahu tegap. Ia berjalan dengan anggun, suara peraduan lantai marmer dengan hak sepatunya menggema ke seluruh lorong dan koridor.
Hinata merasa berhasil untuk menguasai pertemuan pertamanya. Dia sudah mempersiapkannya dengan sempurna, dan memang dia berhasil melaluinya sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Tetapi efek dari pertemuan tadi membuatnya tidak karuan di kamar motel yang ia sewa untuk satu bulan kedepan.
Sekarang Hinata melepaskan kemeja salurnya yang menyesakkan kemudian menanggalkan rok berbahan satinnya. Setelah dia tidak berpakaian, Hinata masuk ke dalam toilet yang ada di dalam kamarnya. Tidak ada bathup maka dari itu Hinata memutar kran shower ke batas maksimal dan membiarkan tubuhnya diguyur air dingin yang deras.
Saat Hinata mulai merasa rileks dia mulai berpikir akan kemungkinan terburuk yang akan terjadi kepada dirinya setelah pertemuan tadi. Pria Uzumaki, Uchiha, dan Sabaku yang ia temui tadi tidak mungkin menyingkir dan diam saja. Hinata tahu mereka pun sama seperti dirinya, merencanakan sesuatu untuk membuat Hinata mudur. Tetapi Hinata akan bersikeras untuk tetap maju.
Hinata akan menghadapi mereka semua, meskipun para penguasa itu tidak akan senang dengan perlawanan yang Hinata lakukan.
Uchiha Itachi kelihatannya sebaik sinterklas, tetapi Hinata tahu pria itu tidak mungkin sepolos kesan pertama yang ia tampilkan kepada dirinya. Itachi adalah pewaris sulung dari keluarga yang menguasai dewan parlemen selama bertahun-tahun. Tentu saja untuk mempertahankan status dan kekuasaannya, para Uchiha tidak akan bersikap lunak dalam kepemimpinannya.
Lalu Uchiha Sasuke adalah pria yang punya paras menjual. Konon dari kabar yang Hinata dengar, dia tidak semahir kakaknya maka dari itu dia tidak dipilih untuk menjadi anggota parlemen, dan berakhir menjadi seorang jaksa kelas menengah.
Sejenak Hinata berpikir untuk mengadu dua Uchiha bersaudara itu untuk keuntungannya, tetapi Hinata tidak tahu harus memulainya dari mana atau dari siapa.
Kemudian ada Sabaku Gaara. Menurut Hinata, pria itu tahu bagaimana cara menghadapi wanita terlihat dari bagaimana pria itu terus tersenyum kepada Hinata walaupun Hinata sudah melayangkan tuduhan kepada keluarganya. Pria itu memikat wanita dari senyumannya, dan nampak bangga dengan hal itu. Hinata tertawa dalam hati, Gaara mungkin berpikir untuk menjadikan Hinata sebagai targetnya tetapi Hinata dengan tegas akan membuat pria itu lupa diri memanfaatkan kekuasaan pria itu untuk mengungkap kematian Ibunya.
Terakhir adalah Uzumaki Naruto. Pria yang paling sulit untuk ditebak karena kesan pertama yang pria itu tunjukkan sangat samar. Pria itu congkak dan tidak punya keramahtamahan. Kesan pertama Hinata kepada si rambut pirang adalah angkuh, tidak ramah, dan berbahaya. Hinata mengingat-ingat dari jurnal yang ia buat, Naruto adalah putra dari hakim Minato yang saat itu bertugas untuk memimpin pengadilan perkara kematian Ibunya. Tetapi pria itu tidak mengikuti jejak ayahnya sebagai pejabat hukum, dan lebih memilih untuk menjadi seorang pengusaha yang bergerak di bidang pariwisata.
Otak Hinata mulai berpikir. Mengapa di antara empat pria itu, hanya Sasuke dan Naruto yang tidak mewarisi kekuasaan orang tuanya? Hal ini membuat Hinata semakin yakin salah satu dari keluarga pria-pria itu telah membunuh Ibunya. Hyuga Hikari tidak dibunuh oleh si tertuduh yakni Yakushi Kabuto. Nenek Kaguya selalu mencekoki fakta itu ke dalam otak Hinata kecil bagai kateksimus sepanjang hidupnya.
"Kaulah, Hinata, yang harus membongkar kebusukan dibalik kematian Ibumu." Kalimat seperti itu selalu Kaguya ucapkan kepada Hinata hampir setiap hari. Atau kalimat lain, "Satidaknya itu adalah balas budi yang bisa kau lakukan untuk Ibumu." Setelah bicara seperti itu biasanya Kaguya akan melirik dengan sorot mata sendu kepada bingkai foto mendiang putrinya yang dipajang di seluruh penjuru rumah.
Lalu Kaguya akan menangis karena merindukan putrinya yang sudah meninggal dan Hinata selalu berusaha keras untuk menghibur neneknya bila nenek sudah mulai menangis tetepi seberapa keras pun Hinata mencoba Kaguya tidak akan pernah berhenti menangis sampai dia merasa puas.
Hinata menarik napasnya saat aroma shampo yang berbau harum layaknya anggur matang membaui indera penciumannya. Sebelum Kaguya wafat, menyusul putrinya ke alam baka, Hinata berjanji akan menghadiahi neneknya itu nama si pembunuh yang telah membuat Hikari meninggal dunia.
.....
Pukul enam pagi di hari berikutnya Hinata sudah rapih dengan setelan dress bermotif floral berwarna hijau mint yang cantik. Kantor kepolisian Tokyo jaraknya tidak begitu jauh dari motel tempat Hinata menginap, kurang lebih lima belas menit mengemudi akhirnya Hinata memarkir mobilnya di pelataran luas di bagian samping kantor kepolisian. Hari masih pagi, tidak banyak kegiatan di kantor kepolisian ini.
Tak jauh dari pintu masuk Hinata menemukan para petugas berseragam polisi tengah berkumpul, sepertinya mereka tengah menikmati kopi hangat di pagi yang dingin ini. Salah seorang polisi melihat Hinata disusul oleh tatapan polisi lain yang langsung menoleh ke tempat Hinata berdiri. Hinata merasa begitu mencolok, di tempat yang jelas dikuasai oleh para pria itu.
Hinata menguatkan dirinya dan memutuskan untuk tersenyum manis, menyapa mereka yang memandangi Hinata dengan risih. "Selamat pagi."
"Pagi." Jawab para polisi serentak.
"Nama saya Hyuga Hinata. Saya ingin bertemu sekretaris kepala polisi, Sabaku Gaara."
"Tidak ada. Hari ini beliau punya jadwal masuk siang hari."
Hinata jelas merasa tengah dibohongi. Tatapan mata para polisi itu seolah mempermainkan Hinata, dan lirikan mata mereka mangatakan Hinata adalah tamu yang tidak diharapkan kehadirannya di sini.
"Oh seperti itu," Hinata mengucapkannya dengan lembut lalu berjalan mendekat ke arah para pria yang ada di sudut ruangan. "Jam berapa dia datang?"
"Tidak tahu."
"Kalau begitu saya akan menunggu di sini. Apa saya boleh membuat kopi untuk diri saya sendiri?" Hinata tersenyum miring. Dia sudah terbiasa untuk mengendalikan pria-pria menyebalkan seperti ini. Para pria ini tidak seberapa mengesalkan dibandingkan atasannya, Sarutobi Asuma.
"Maaf miss kantor kepolisian bukan kafe. Anda bisa membuat kopi di starbucks yang ada di seberang sana."
Penolakan para polisi kentara sekali mereka telah dibriefing oleh para petinggi untuk menghalang-halangi dirinya. Tetapi Hinata tidak memperdulikannya sama sekali. Tangannya yang seputih salju merogoh ke bagian dalam tas tangannya, mengeluarkan id card dan tanda pengenalnya sebagai jaksa kota Sapporo dan menunjukkannya kepada para polisi yang menolak kehadiran dirinya.
"Jadi tuan-tuan yang terhormat," Hinata memandangi wajah polisi-polisi itu dengan seksama. "Di mana mesin kopinya?"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Veil
FanfictionEmpat pria dari klan yang berkuasa berusaha keras untuk menghalang-halangi Hinata dalam mengungkapkan kasus pembunuhan Ibunya. Namun hanya satu di antara empat orang pria itu yang akan berhasil membuat Hinata menyerah.