Hinata mendatangi bosnya, jaksa wilayah Sapporo. Namanya Sarutobi Asuma, pria itu memindah-mindahkan rokoknya dari sudut kanan bibirnya ke sudut kirinya. Jika di ruang sidang Asuma merupakan momok bagi para terdakwa yang terbukti bersalah, saksi yang berbohong, dan hakim yang 'terlalu' rapih. Asuma terkenal dengan cara bicaranya yang keras, terlalu sering dan terlalu banyak merokok dan mabuk, pula dengan pakaian dan sepatunya yang terkenal berharga fantastis.Bila orang menyebut Asuma egois, Hinata kurang setuju. Bagi Hinata Asuma adalah seorang jaksa yang ambisius, keji, licik, kasar, dan tidak kenal rasa kasihan. Karena hal-hal tersebut dunia politik cocok untuk kepribadiannya. Hinata berpendapat, Asuma ada di jalan yang tepat.
Asuma pernah mengatakan kepada Hinata, bahwa dia percaya pada sistem timbal balik dan imbalan. Selain itu Asuma menghargai bakat yang belum dipoles. Itu sebabnya Hinata diterima menjadi stafnya.
"Kau mau membuka kembali kasus pembunuhan dua puluh lima tahun yang lalu?" Asuma bertanya saat Hinata mengutarakan keinginannya. "Berikan aku alasan yang mantap."
Hinata menarik napas. "Karena korbannya adalah Ibuku."
Mata Asuma membelalak. "Ya Tuhan, Hinata, aku turut prihatin. Aku tidak tahu."
Hinata mendesah lelah. Dia tidak acuh dengan ungkapan prihatin dari bosnya. "Aku pun prihatin dengan nasibku."
"Kapan waktu pasti kejadiannya? Berapa umurmu waktu itu?"
"Masih bayi. Aku bahkan tidak ingat dia. Ibuku baru berumur sembilan belas tahun waktu dibunuh."
Asuma mengusapkan tangannya yang besar di wajahnya. "Dari informasi yang kubaca, kasus itu tercatat di sistem pusat pengadilan sebagai kasus yang tidak terpecahkan."
Hinata mengernyitkan dahi. "Tidak bisa dibilang seperti itu. Ada tersangka yang ditangkap dan didakwa, tetapi kasusnya tidak pernah disidangkan."
"Ceritakan padaku secara singkat. Kau punya waktu dua puluh menit."
Setelah Hinata selesai bercerita, Asuma mengerutkan kening dan menyalakan rokok baru dengan ujung bara rokok yang dia hisap sebelumnya. "Sial Hinata kau tadi tidak bilang keluarga Uzumaki dan Uchiha terlibat. Apa nenekmu sudah gila? Apa dia benar-benar percaya salah satu dari mereka yang sudah melenyapkan nyawa Ibumu?"
"Atau mungkin teman mereka, Sabaku."
"Apakah nenekmu memberitahukan motif orang-orang tersebut?"
"Sedikit," Hinata tidak ingin memberitahu bahwa Kaguya menyebut Hinata sebagai penyebabnya. "Sepertinya Ibuku akrab dengan mereka."
"Konteks?" Asuma menaikkan sebelah alisnya. "Jika memang demikian. Kenapa salah satu dari mereka membunuh Ibumu?"
"Itulah yang ingin kuketahui."
Asuma menampakan wajahnya yang tidak bersahabat. "Pada jam kerjamu?"
"Ini kasus yang besar pak Asuma." Hinata berucap kesal.
"Hanya dugaanmu." Ketus Asuma.
"Dugaan yang bukan sembarang dugaan."
Asuma mendengkus. "Kau yakin ini bukan hanya masalah pribadi?"
"Oh tentu saja bukan." Hinata merasa tersinggung dengan pertanyaan bosnya. "Aku melakukannya seratus persen dari sudut pandang hukum. Kalau Yakushi Kabuto disidangkan dan dihukum aku tidak akan menganggap ucapan nenek serius ini. Semua ini berkaitan pak."
Asuma membuang asap rokoknya dengan bentuk lingkaran yang membuat Hinata mendengkus tidak senang. "Mengapa nenekmu tidak ribut soal pembunuhan ini saat kasusnya masih segar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Veil
Fiksi PenggemarEmpat pria dari klan yang berkuasa berusaha keras untuk menghalang-halangi Hinata dalam mengungkapkan kasus pembunuhan Ibunya. Namun hanya satu di antara empat orang pria itu yang akan berhasil membuat Hinata menyerah.