Gerbang komplek pemakaman itu terbuka. Hinata berjalan hati-hati melewatinya. Dia belum pernah berdoa ke makam Ibunya, tetapi Hinata tahu di mana lokasi pasti makam ibunya. Dari mana Hinata tahu? Tentunya dari surat-surat penting yang dia temukan di laci pribadi neneknya.
Langit siang ini tampak gelap dan tidak ramah. Udara yang berhembus cukup untuk menggetarkan kulit akibat kerendahan suhunya. Matahari sedang enggan untuk menunjukkan eksistensi dirinya, semua terlihat suram dan muram. Batu-batu nisan dan rumput yang mengering bak menyambut langkah kaki Hinata yang dibalut oleh heels lima senti.
Dengan berpatokan pada nomor-nomor di batu nisan Hinata menemukan tujuannya. Perempuan berbola mata mirip mutiara itu melepaskan kacamata hitam yang tengah dipakai olehnya. Sejauh matanya memandang, hanya dirinya seorang yang ada di sini. Di pinggiran Tokyo yang senyap, jauh dari hiruk pikuk ibukota yang sibuk. Angin berembus lebih kencang, membuat helai-helai rembut Hinata berterbangan. Suara burung yang berkicau bak sebuah lolongan serigala yang menyeramkan.
Meskipun Hinata sudah mempersiapkan dirinya matang-matang, dia tetap tidak siap untuk melihatnya. Batu nisan di makan ibunya seolah mengusir Hinata. Nalurinya meminta Hinata untuk segera angkat kaki, tetapi kakinya seolah mati rasa tidak sanggup untuk bergerak.
Di nisan persegi itu hanya tercantum nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian ibunya. Hanya itu saja. Tidak ada epitaf, tidak ada tulisan yang puitis yang biasanya ada di makam-makam lain.
Jantung Hinata seolah diremas dengan kuat saat menatap langsung makam ibunya yang ditumbuhi rumput-rumput liar yang sudah kering. Perlahan-lahan air mata mulai membasahi wajah Hinata. Dia merasa sangat hancur untuk alasan yang tidak pasti.
Hyuga Hikari begitu muda, sangat cantik, dan penuh semangat dua puluh lima tahun lalu. Namun saat ini Hyuga Hikari nyaris dilupakan oleh semua orang.
Hinata berlutut di samping makam ibunya. Makam itu sendirian, tidak ada makam keluarga yang menemani makam ibunya. Pelan sekali Hinata mengelus batu nisannya. Sekarang Hinata mengerti kenapa nenek Kaguya selalu meminta untuk bisa dimakamkan di sebelah makam putrinya.
Makam suami Hikari, yaitu Ayah Hinata, tidak pernah diketahui. Nenek Kaguya hanya menceritakan singkat tentang Hyuga Hiashi, Hinata bahkan tidak tahu bagaimana rupa ayahnya. Tidak ada satu pun foto ayahnya yang disimpan oleh nenek Kaguya.
Sedangkan makam Ayah Hikari, yaitu suami nenek Kaguya yang meninggal saat Hikari berusia dua tahun dimakamkan di kampung halamannya di daerah Kyoto.
Makam Hikari benar-benar sendirian, maka dari itu nenek Kaguya sangat ingin menemani makam putrinya.
Hinata mengusap lembut air mata yang membasahi wajahnya, Hinata merasa sangat malu dan durhaka karena baru sekali ini dia mengunjungi tempat peristirahatan terakhir ibunya. Hinata menyentuh pahatan-pahatan huruf berejakan nama Ibunya, dan merasakan betapa dinginnya batu nisan tersebut. Kemudian Hinata menekan pelan pusara ibunya, seolah ingin merasakan detak jantung Ibunya.
Kesadaran Hinata mulai direnggut paksa oleh kesedihan yang ia rasakan, Hinata mulai membayangkan bisa berkomunikasi dengan Hikari secara supranatural tetapi satu-satunya sensasi yang dirasakannya adalah keheningan dan kemuraman.
Lagi dan lagi Hinata menangisi nasib tidak beruntung Hyuga Hikari.
"Ibu..." Hinata berbisik dengan amat lirih. Lidah dan bibirnya terasa asing ketika Hinata mengucapkan sebutan itu, karena selama dia hidup, Hinata tidak pernah memanggil orang dengan sebutan-sebutan seperti itu.
"Aku yakin Ibumu bisa mendengarnya."
Hinata membalikkan tubuhnya, dengan perasaan kaget. Telapak tangannya memegang bagian dadanya yang berdebar-debar kencang akibat rasa terkejut sekaligus ketakutan yang dia rasakan. "Kau membuat aku takut Naruto, apa yang kau lakukan di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Veil
FanfictionEmpat pria dari klan yang berkuasa berusaha keras untuk menghalang-halangi Hinata dalam mengungkapkan kasus pembunuhan Ibunya. Namun hanya satu di antara empat orang pria itu yang akan berhasil membuat Hinata menyerah.