"Ma, Milly berangkat dulu ya." Aku segera mencomot setangkup roti bakar dengan selai cokelat di meja makan.
"Loh, katanya ada kelas siang? Kok masih pagi gini udah berangkat?" Mama yang sedang membuat kopi untuk mantan pacar kesayangannya menoleh ke arahku.
Menelan makanan dengan cepat, aku segera menanggapi. "Iya soalnya Milly mau mampir kerumah Viona dulu Ma, mau ngerjain tugas."
"Oh ya udah hati-hati kalau gitu."
Cepat-cepat aku menyalami beliau, lalu mengambil kunci motor di meja ruang tamu. Nggak lama aku dengar suara langkah kaki mendekat kearahku. Ah itu pasti lelaki kesayangannya mama.
"Hati-hati Mill bawa motornya."
Kan benar dugaanku, lelaki itu mantan pacarnya mamaku yang paling ganteng. Ya, lelaki itu jugalah yang turut andil saat menghadirkan aku ke dunia. Aku terkikik mengingat kekonyolan mama waktu itu, saat dengan percaya dirinya beliau mengakui mempunyai mantan pacar yang amat sangat tampan. Yang ternyata mantannya itu adalah papaku sendiri. Haha mamaku memang ajaib.
"Siap komandan." Aku berpose hormat di depan lelaki kesayanganku itu. Nggak lupa menyalami dan mencium pipi beliau.
**
"Vi, aku boleh minta tolong?" Sejenak aku menatap sahabatku yang tengah tengkurap dengan ekspresi super bahagia. Sedari tadi dia sibuk dengan ponselnya, senyum-senyum sendiri entah sedang berbalas chat dengan siapa.
Kalau kalian berpikir aku benar-benar mengerjakan tugas, maka kalian salah. Saat ini aku memang sedang dirumah Viona, tepatnya di kamar serba pink nya Viona. Tapi bukan untuk mengerjakan tugas, melainkan membujuk Viona untuk menghubungi seseorang.
Terdengar helaan nafas dari perempuan yang ada di sebelahku.
"Minta tolong menghubungi suamimu lagi?" Ucapnya setengah malas.
"Uhmm i-iya," aku menjawab gugup.
"Sebenarnya yang istrinya itu aku apa kamu sih, Mill?" Viona mendelik padaku.
"Kan kamu tau sendiri Vi, dia nggak mungkin-"
"Nggak mungkin membalas pesan dari kamu, begitu?"
Aku mengangguk lesu. Ya mau gimana lagi, memang sudah tiga bulan aku nggak bertukar kabar dengan suamiku. Terakhir aku menelponnya tiga bulan yang lalu, dia nggak mengindahkan panggilanku sama sekali.
Sedih rasanya mengingat kepergiannya yang tiba-tiba tanpa berpamitan denganku. Memang dia sempat menitipkan pesan sama mamaku sih, tapi rasanya aneh saja mengingat status kami yang baru menikah saat itu. Sedang senang-senangnya menjadi pengantin baru, eh kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa kejelasan.
Kalau kalian berpikir bahwa aku menikah karena dijodohkan, maka kalian salah. Aku menikah karena keinginanku sendiri, tentunya atas keinginan dan persetujuan dari suamiku juga. Aku jadi teringat dengan kejadian empat bulan yang lalu, di mana aku mulai menyerahkan hidupku, kepada seorang lelaki yang baru kukenal selama lima bulan.
Pernikahan yang terbilang cepat memang. Aku sendiri saat itu nggak tau kenapa semudah itu menyanggupi ajakannya untuk menikah. Padahal kala itu, aku belum lama putus dari lelaki yang sudah kupacari selama dua tahun lamanya. Tapi aku berpikir mungkin memang lebih cepat lebih baik. Mas Raka juga termasuk lelaki yang baik, nggak neko-neko, dan dia kelihatan sayang sekali dengan keluargaku. Aku pikir pasti nggak butuh waktu lama untukku menjatuhkan hati padanya.
Waktu itu aku memang belum sepenuhnya mempercayakan hatiku pada lelaki yang menikahiku. Tapi aku berani bersumpah, saat itu aku sudah nyaman dan mungkin juga sudah menyanyanginya? Entahlah, aku nggak ngerti dengan diriku sendiri. Kenapa harus sebingung ini mengenali perasaanku sendiri. Rasanya aku kesal sekali dengan diriku saat ini, arghhh.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY (Behind The Wedding)
Romance[ON REVISI] Seperti kata pepatah, sejauh apapun kamu berlari, jika sudah takdirmu, maka ia akan mencari jalan untuk menemukanmu. Begitu pula sebaliknya, sekuat apapun kamu menggenggam, jika memang tidak di takdirkan untukmu. Maka akan ada 1001 alasa...