Malam di Pantai

20 3 0
                                    

Malam ini rencananya Mas Raka mau ngajakin aku keluar. Karena kebetulan besok weekend, dan juga hari ini terakhir aku UAS, jadinya aku langsung menyetujui ajakannya Mas Raka itu. Hitung-hitung sebagai pendekatan diri ya kan. Sekalian refresh otak, setelah satu minggu berkutat dengan kegiatan kampus.

"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Dari tadi lho aku nanyain, tapi sama sekali nggak dikasih tau sama Mas Raka.

"Nanti kamu tau sendiri." Ia menoleh sekilas.

Aku merengut sebal, dari tadi jawabannya begitu terus. Mendekat, aku kemudian mengulurkan kedua tangan ke lehernya Mas Raka, lalu membenahi kerah kemeja flanel-nya yang sejak tadi nggak terlipat sempurna. Tinggi badanku yang cuma sebatas bahunya, membuat aku agak berjinjit untuk mencapai bagian belakang lehernya.

"Nah, kalau gini kan cakep." Aku menepuk dadanya sembari tersenyum lebar. Baru saja berniat menjauh, tanganku sudah di tahan sama Mas Raka.

"Kamu mau godain aku?"

Aku tersentak kaget, tatapan tajam dan suara seraknya seketika membuatku menahan napas. "Ish a-apaan sih, enggak!" Dengan cepat aku melepaskan cekalannya dan melangkah mundur.

"Aku cuma bantu rapihin kemeja kamu aja ih." Ucapku seraya membuang pandangan. Apa-apaan tatapannya itu, benar-benar membuatku merinding.

Di mobil nggak ada yang bersuara sama sekali, aku bahkan nggak berani untuk sekedar menatap wajahnya. Entah kenapa tatapan Mas Raka tadi membuat laju jantungku berdetak berkali lipat lebih cepat.

Aku melirik sekilas ke arah kemudi, sejak kejadian di kamar tadi, Mas Raka belum mengeluarkan suara sedikit pun. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Atau jangan-jangan dia marah ya? Tapi bener kok, tadi itu aku sama sekali nggak ada niatan untuk menggoda.

Suara klakson bersahutan menyadarkan aku dari lamunan, "Ada apa Mas? Kok rame di situ?" Aku menoleh ke samping kanan jalan yang ramai oleh kerumunan. Bahkan beberapa kendaraan sampai ada yang berhenti karena macet.

"Sepertinya ada yang kecelakaan."

"Oh, pantesan aja macet."

Baru saja aku berniat menghidupkan radio, suara getaran di dashbord mengusik perhatianku.

Dengan cepat Mas Raka meraih ponsel-nya yang sejak tadi bergetar, menerima panggilan, lalu mengapitnya di bahu kiri. Aku mendengus, kenapa nggak minta tolong aku coba?

"Hallo, Nis."

"Masih di jalan, tadi ada macet sedikit. Sebentar lagi sampai kok."

"Oke, tunggu."

Aku mengernyit heran, nggak paham apa yang sedang mereka bahas. Pasalnya sedari tadi Mas Raka sama sekali nggak mengaktifkan mode speaker. Tapi kalau dengar dari balasannya, sepertinya sih orang inilah yang akan kami tuju. Tadi Mas Raka meminta dia menunggu kan?

"Ayo turun."

"Hah?"

"Udah sampai, mau turun nggak?" Ucap Mas Raka datar.

Aku melarikan pandangan ke kanan dan ke kiri, memastikan keberadaanku. Saat ini kami tengah berada di halaman parkir super luas di sebuah hotel. Eh, hotel? Tunggu dulu, ini Mas Raka mau ngapain ngajakin aku ke hotel?

"Aww, sakit ih!" Aku menggeplak tangan Mas Raka yang tadi menyentil jidatku. Bukannya merasa bersalah, dia justru ketawa lebar.

"Lagian doyan banget ngelamun, mikirin apa sih?"

Menggeleng cepat, aku langsung saja menggamit lengannya. "Nggak ada, ayo buruan masuk."

"Masuk ke mana?"

DESTINY (Behind The Wedding)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang