Mimpi apa aku semalam, sudah sepetang ini malah di pertemukan dengan dua orang yang sangat aku hindari akhir-akhir ini. Padahal yang aku tau, supermarket ini lumayan jauh dari tempat tinggal mereka, tapi kenapa justru bertemu lagi di sini sih.
Ingin menghindar atau pura-pura nggak melihat juga percuma, toh mereka juga sudah melihatku duluan sejak aku menginjakan kaki di dekat rak berisi bumbu dapur ini.
"Hai, Mill. Lagi belanja juga?" Tersenyum lebar ia mendekat ke arahku.
"Eh, iya Mas."
"Sama suamimu?" Ia bertanya lagi.
"Oh enggak, aku sendiri." Ucapku lagi. Aku tersenyum tanggung pada wanita yang ada di samping Mas Aidan.
Iya, yang ada di depanku saat ini adalah lelaki yang sama dengan yang kutemui beberapa hari yang lalu. Lelaki yang pernah mengisi hatiku selama kurang lebih 2 tahun lamanya. Takdir macam apa ini?
"Mba Yesha, apa kabar?" Ucapku pada akhirnya.
"Baik Alhamdulillah. Oh iya, selamat buat pernikahanmu. Maaf Mba nggak bisa datang." Mba Yesha tersenyum lembut.
"Ah iya, terimakasih Mba," ujarku lagi.
"Kalau begitu, Mba duluan ke kasir ya," ucap wanita di depanku.
"Nanti aku nyusul, Mba." Mas Aidan Menyahuti, yang langsung di angguki oleh Mba Yesha.
"Mill, Mba duluan ya." Ucapnya kemudian berlalu dari hadapanku. Aku tertegun menatap wanita itu, wanita yang dulu pernah sangat mendukung hubunganku dengan Mas Aidan.
"Ehem, Mill. Boleh aku minta nomor kamu?"
Aku mengernyit menatap lelaki di hadapanku, "Buat apa?" Ya, untuk apa. Bukankah dia yang awalnya memutuskan menjauh?
**
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk mengurusi Mas Raka. Gimana enggak, tadi habis sholat subuh dia mengeluh kedinginan. Aku inisiatif membuatkan jahe hangat, tapi nggak ngefek sama sekali, dia tetap menggigil kedinginan. Dan sekarang, badannya justru panas, dia meriang.
Aku pikir mungkin itu karena dia terlalu kelelahan. Gimana enggak, coba bayangkan, sudah 2 minggu lebih dia lembur terus. Berangkat pagi pulang malam, otomatis waktu istirahatnya jadi banyak berkurang. Belum lagi makan malam yang sering telat, kadang dia baru sempat makan waktu sudah sampai di rumah. Dan itu sudah jam 9 bahkan jam 10 malam, lho.
"Mas, kita ke klinik aja ya?" Ujarku sambil meletakan handuk kecil yang sudah aku basahi ke keningnya. "Badan kamu panas banget loh ini."
Dia menggeleng untuk kesekian kalinya. Kadang aku nggak habis pikir sama Mas Raka. Setiap saat selalu nasehatin aku supaya makan teratur, sering olahraga, dan istirahat yang cukup. Tapi dia justru mengabaikan kesehatan dirinya sendiri.
"Dingin." Ucap Mas Raka lirih.
Padahal dia sudah pakai selimut tebal, tapi masih saja mengeluh kedinginan. Aku kembali merapikan selimut sebatas lehernya, kemudian menaikan suhu AC ruangan menjadi lebih hangat. Kutatap wajah Mas Raka yang sedikit pucat, setelah itu segera beranjak. Aku harus secepatnya menyiapkan sarapan untuk Mas Raka.
Tapi, baru saja aku mau melangkah, Mas Raka kembali merengek, nggak mau aku tinggal.
"Mas... Aku cuma kedapur, lho. Kamu harus sarapan dan cepet minum obat."
"Nggak usah, di sini aja," kali ini dia sampai menarik tanganku agar kembali duduk di sampingnya.
Aku menghela napas lelah. Sudah dari tadi loh dia nggak ngebolehin aku pergi, padahal aku kan cuma mau ke dapur bikinin dia sarapan. Astaga, aku baru tau lelaki dewasa seperti Mas Raka ini bisa bersikap kekanakan juga ternyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY (Behind The Wedding)
Romance[ON REVISI] Seperti kata pepatah, sejauh apapun kamu berlari, jika sudah takdirmu, maka ia akan mencari jalan untuk menemukanmu. Begitu pula sebaliknya, sekuat apapun kamu menggenggam, jika memang tidak di takdirkan untukmu. Maka akan ada 1001 alasa...