"Naira... Jangan lari, nanti ja-"
Brukkk
"Mamaaa..."
Aku meringis mendengar teriakannya Naira yang super lantang. Anak itu dari tadi memang nggak bisa diem, lari-larian kesana kemari seolah energinya nggak ada habisnya. Mama mertua sama kakak iparku sampai capek sendiri minta dia buat berhenti lari-larian. Tapi tetap saja nggak pernah di gubris sama si bocah kelebihan energi itu.
Tadi aku sama Mas Raka memang terlebih dahulu mampir ke rumah orangtuaku, barulah sehabis Asar kami melanjutkan perjalanan ke rumah orangtuanya Mas Raka. Dan di sini lah aku sekarang, lesehan didepan TV sama Mama mertua dan Mba Kania, Istrinya Mas Raja. Oh iya, jangan lupakan si kecil Naira.
Rumah orangtua Mas Raka ini memang ramai, makanya aku suka berada disini. Karena selain penghuninya banyak, aku juga jadi punya teman yang sefrekuensi denganku. Kalau kebetulan lagi nginep di sini, aku biasa marathon Drakor sama Rena, atau juga bisa ngobrolin banyak hal sama Mba Kania. Jadi nggak bikin aku cepat bosan kalau lagi ditinggal Mas Raka kerja.
Mas Raka sendiri punya seorang kakak lelaki yang usianya terpaut 3 tahun di atasnya, yaitu Mas Raja. Sedangkan adik iparku, si Rena, usianya baru 18 tahun. Cukup jauh memang selisih umurnya dengan kedua kakaknya.
Sudah lewat 5 menit sejak kejadian tadi, tapi bocah perempuan itu masih saja nangis sesenggukan di pangkuan mamanya. Aku, Mama mertuaku, ataupun Mba Kania sendiri belum ada yang bisa nenangin Naira yang lagi di rundung musibah. Heran aku, itu air matanya kok nggak habis-habis dari tadi.
"Naira, sama tante yuk? Kita main sama Om Raka. Mau nggak?" Bujukku lagi, siapa tau kalau di iming-imingi dengan mainan dia mau kan?
"Om Raka?" Jawabnya dengan masih bersimbah air mata.
"Iya, sama Om Raka. Mau nggak?" Aku mengulurkan tangan ke arah Naira. Nggak perlu menunggu lama dia langsung mendekat ke arahku.
"Mau Om Raka." Ucapnya lirih. Ya ampun, ternyata mantra nya itu toh. Tau gitu udah dari tadi aku nawarin diri. Tanpa banyak tanya lagi langsung saja kugendong si Naira dan berjalan ke arah belakang.
"Dimana tadi yang sakit?" Tanyaku.
"Di sini," dia menunjuk dengkulnya, "Sama di sini juga." Mengusap sikunya dengan raut wajah yang mulai memerah lagi.
"Ututu... Kacian banget ini cantiknya tante." Aku mengusap dengkul dan sikunya bergantian. "Udah tante bacain mantra, bentar lagi pasti sembuh. Jangan nangis lagi ya?" Ujarku sambil mengusap pipinya yang basah.
"Mau kemana?" Baru saja aku mau berbelok ke teras belakang menemui para lelaki, eh malah udah ketemu duluan sama Mas Raka di dekat dapur.
"Oommm..." Naira yang melihat keberadaan Mas Raka, langsung saja melanjutkan acara nangisnya yang sempat terjeda. Aku meringis menatap Mas Raka.
"Loh, ini kenapa nangis?" Mas Raka langsung mengambil alih Naira dari gendonganku.
"Tadi lagi lari-larian, terus jatuh." Ucapku tersenyum geli.
"Cep cep... Udah ya jangan nangis lagi," bujuk Mas Raka penuh kelembutan. Dikecupnya kening Naira sayang, kemudian segera mengelap wajah si bocil dengan tisu yang ada di meja makan.
Aku terkikik melihat Naira yang gelendotan di pangkuan Mas Raka. Wajahnya itu loh, lucu, melas banget berasa habis ketimpa musibah bertubi-tubi.
Aku mengangsurkan segelas air putih yang barusan kuambil ke Mas Raka. "Kasih minum Mas, kasian suaranya udah mau abis itu."
Dengan telaten Mas Raka membantu Naira minum. Aku melongo melihat gelas yang penuh tadi udah kosong nggak bersisa, oalah kehausan ternyata dia.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY (Behind The Wedding)
Romance[ON REVISI] Seperti kata pepatah, sejauh apapun kamu berlari, jika sudah takdirmu, maka ia akan mencari jalan untuk menemukanmu. Begitu pula sebaliknya, sekuat apapun kamu menggenggam, jika memang tidak di takdirkan untukmu. Maka akan ada 1001 alasa...