Sakit (2)

23 2 0
                                    

Aku melihat kembali meja makan yang sudah terisi soto ayam bening, bakwan jagung, dan juga nasi di sana. Memang nggak banyak yang aku masak siang ini, karena untuk membuat soto sendiri memerlukan waktu yang cukup banyak. Apalagi ini pertama kalinya aku berani membuat menu ini sendirian. Karena biasanya Mama lah yang lebih banyak berkontribusi, sedangkan aku cuma membantu saja.

Wangi kuah soto yang berpadu dengan bawang goreng menguar pekat memenuhi indera penciuman, membuat perutku mendadak keroncongan. Nggak sabar rasanya ingin menyuguhkan karyaku ini sama Mas Raka. Ya, walaupun mungkin rasanya belum seenak buatan Mama, tapi aku pikir nggak terlalu buruk juga di lidahku. Atau mungkin karena itu masakanku sendiri jadi terasa enak? Bisa jadi.

Aku tersenyum lebar saat mendapati Mas Raka yang meringkuk seperti bayi, wajahnya tampak begitu polos saat tertidur pulas seperti ini. Aku meletakan punggung tangan di dahi Mas Raka yang sedikit basah karena keringat. Masih terasa panas, tapi nggak separah tadi pagi. Pelan-pelan aku mengusap wajah dan lehernya yang basah, dia sama sekali nggak terganggu loh. Jadi nggak tega rasanya mau aku bangunin.

Bunyi getaran ponsel di atas meja nakas mengalihkan perhatianku. Nggak cuma sekali, getaran itu menyusul sampai mungkin empat atau lima kali. Jadi penasaran, siapa kiranya yang menghubungi suamiku di siang bolong begini. Ampun deh, nggak tau apa kalau siang itu waktunya orang lain beraktifitas. Gimana coba kalau yang punya ponsel-nya lagi nggak sempet baca, atau malah nggak tau kalau ada pesan. Ya, meskipun sekarang ini yang punya ponsel-nya lagi tidur sih.

Terus sekarang aku harus apa dong? Bangunin Mas Raka dari aksi tidur gantengnya begitu? Tapi kasian dong, tidurnya jadi keganggu. Atau aku buka dulu saja ya, kalau sekiranya penting, baru aku kasih tau Mas Raka. Tapi, takut nanti dikira nggak sopan. Walaupun kami sudah tinggal satu atap selama kurang lebih 2 bulan, tetap saja aku nggak berani menggeledah ponselnya Mas Raka, itu kan privasi.

Tapi, gimana kalau seandainya itu sesuatu yang penting? Sesuatu yang harus diketahui secepatnya sama si pemilik ponsel misalkan. Dengan agak ragu aku meraih ponselnya Mas Raka, pesannya sampai sebanyak itu loh, gimana aku nggak penasaran coba!

Aku membulat begitu mendapati pesan beruntun dari nomor yang sama. Nggak kok, aku nggak membuka pesannya sama sekali, cukup membaca dari bar notifikasi saja aku sudah bisa mengetahui isi pesan itu.

Raka, where are you?

Aku nungguin kamu dari tadi, eh
taunya nggak masuk.

Kata Pak Chandra kamu sakit?

Padahal aku mau ngajakin makan di restoran padang yang minggu lalu itu.

Yaudah deh, cepet sembuh ya.

Begitulah isi pesan dari si pengirim bernama Annisa itu. Aku nggak kenal sih dia siapa, tapi aku pikir mereka kelihatan cukup dekat. Bukannya mau berpikiran buruk loh ya, tapi memang begitu kelihatannya kok, buktinya mereka sering makan siang bareng. Nggak, aku nggak boleh cemburu. Lagian buat apa juga aku cemburu kan?

Baru saja aku meletakan benda ajaib itu ke atas nakas, pergerakan Mas Raka seketika mengagetkanku.

"Mas, udah bangun?" Menggeliat pelan, Mas Raka kemudian membalikan badannya menghadapku.

"Jam berapa sekarang?" Tanya Mas Raka dengan suara serak.

"Jam satu, Mas."

"Kok nggak bangunin?"

"Ini baru mau aku bangunin kok, eh kamunya udah bangun duluan." Duh, pinter banget kan bohongnya.

Dia bangkit sambil mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat. Wajah khas bangun tidur serta rambutnya yang acak-acakan, sama sekali nggak mengurangi kadar ketampanannya. Mas Raka itu memang bukan jenis lelaki tampan dengan kulit putih bersih seperti yang biasa aku lihat di Drakor. Dia juga bukan jenis lelaki yang tampannya keterlaluan, dia nggak mirip Lee Min Ho, apalagi mirip Ji Chang Wook.

DESTINY (Behind The Wedding)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang