Kangen? (2)

66 19 18
                                    

Sore ini sepulang kuliah aku memutuskan untuk pulang ke rumahku, rumahku dengan mas Raka maksudnya. Kami memang tinggal terpisah dari orangtua. Tepat seminggu setelah menikah, mas Raka langsung memboyongku kerumah yang sudah dibelinya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Mas Raka sendiri adalah seorang IT disalah satu perusahaan besar yang ada di Surabaya. Suamiku itu memang memiliki otak yang sangat pintar, berbeda sekali denganku. Bayangkan, di usia yang baru menginjak 23 tahun dia sudah berhasil menamatkan S2.

Aku nggak ngerti kenapa mas Raka justru memilihku sebagai istrinya. Dia yang sudah sukses di usia 26 tahun justru kecantol sama mahasiswi semester 6 yang otaknya pas-pasan sepertiku ini. Kalau diibaratkan, aku dan mas Raka itu bagaikan langit dan bumi, ya meskipun aku nggak jelek-jelek banget sih, tapi tetap saja dia unggul di banyak hal. Aku terkikik geli membayangkan betapa malangnya nasib mas Raka memiliki istri sepertiku.

Ah sudahlah, daripada memikirkan lelaki itu yang ujung-ujunganya membuat mood jelek, lebih baik aku segera pulang. Malam ini aku memutuskan untuk menginap di rumah kami, sudah terlalu lama aku meninggalkan rumah itu.

**

Memarkirkan motor di halaman rumah, aku segera membawa dua kantong belanjaan yang tadi kubeli di minimarket sebelum masuk perumahan. Lumayan bisa buat menemani malamku nonton Drakor nanti. Ah, rasanya sudah rindu sekali dengan rumah ini.

Tapi kenapa seperti ada yang aneh ya? Kuputar sekali lagi kunci rumah milikku, tetap saja nggak ada suara yang menandakan kalau pintu ini sudah berhasil terbuka. Itu artinya pintu ini nggak terkunci kan? Aku mendadak gemetar, jantungku pun ikut berdetak cepat. Kepalaku mulai memikirkan berbagai macam hal buruk. Astaga! Maling mana yang sudah beraksi di jam 3 begini, masih cukup siang untuk membobol rumah orang kan?

Kuperhatikan samping kiri dan kanan, perumahan ini memang belum seberapa ramai, tapi juga nggak sesepi itu kok. Apalagi di sekitaran rumahku ini sudah lumayan banyak penghuninya. Jadi nggak mungkin kan ada maling yang berani masuk di jam segini?

Aku bingung, ingin masuk tapi takut tiba-tiba diserang komplotan penjahat itu. Bisa saja kan mereka membawa benda tajam lalu aku di todong, kemudian di cincang, dan dibuang kesungai. Astaga aku merinding. Kupikirkan lagi langkah apa yang harusnya kuambil. Kalau aku masuk kemungkinan aku diserang sangat besar, tapi kalau kabur otomatis aku nggak akan tau dong siapa pelakunya? Ya benar, sepertinya aku memang harus masuk.

Sambil menahan napas kubuka pintu itu pelan-pelan, tapi nggak ada siapa-siapa di sana. Apa mungkin malingnya di dapur? Ah iya pasti disana. Mengendap-endap aku berjalan sepelan mungkin supaya nggak menimbulkan suara. Sesampainya di dekat meja makan, kembali keheningan yang kutemukan. Ya ampun, jangan-jangan malingnya sudah kabur duluan sebelum aku sampai.

"Ngapain kamu mengendap-endap begitu?"

"Astaghfirullah!" Terperanjat kaget, refleks aku menjatuhkan kantong belanjaku. Jantungku pun berdegup makin kencang. Kali ini bukan karena takut lagi, melainkan karena suara itu adalah suara seseorang yang sangat kukenali.

Menoleh kebelakang, aku menemukan sesosok manusia berkaos putih dengan celana hitam dibawah dengkul sedang menatapku datar. Ya, ini suamiku, lelaki yang sudah membuatku uring-uringan beberapa hari ini.

"Hm, Mas. Kok kamu bisa disini?"

"Ini rumahku, apa yang salah?"

Aku meringis, ya memang benar sih, tapi kan bukannya dia masih di Jakarta? "Maksudku, Mas sejak kapan ada disini? Kok aku nggak tau?"

Dia diam saja, kemudian berjalan melewatiku. Kulihat dia membuka kulkas dan langsung menenggak air dingin dengan rakus. Sedangkan aku masih berdiri kaku bingung harus melakukan apa. Jadi, dia masih mengabaikanku? Sebenarnya apa salahku!

"Kakimu nggak pegal berdiri terus begitu?" Menoleh sekilas dia beranjak ke meja makan dan mendudukan dirinya disana.

Cepat-cepat kuambil belanjaanku tadi dan kuletakkan di atas meja, kemudian ikut mendudukan diri disampingnya, nggak terlalu dekat sih.

"Mas, kapan sampai?" Cicitku

"Dua jam yang lalu." Mas Raka menjawab sambil sibuk dengan ponsel nya, entah apa yang sedang dia lakukan.

"Uhm, Mas sudah makan? Kalau belum, aku masakin." Baru saja ingin beranjak suara datarnya langsung menghentikanku.

"Nggak usah, aku sudah makan."

Sabar Milly sabar, menguatkan hati aku bertanya lagi, "Tiga hari yang lalu Mas menelpon Raiga? Kenapa?"

"Memang apa salahnya aku ingin tau kabar adikku sendiri?" Suaranya tajam menusuk.

"Nggak ada salahnya kok Mas. Aku cuma heran aja sama kamu, nelpon yang lain sempet, tapi buat sekedar nanyain kabar ke istri sendiri apa nggak bisa?"

"Buat apa?"

Buat apa katanya? Yaampun sesak banget rasanya. "Sebenarnya, apa sih arti pernikahan ini buat kamu mas?"

"Nggak salah? Bukankah pertanyaan itu lebih cocok buat kamu?" Dia terkekeh pelan. "Kenapa kamu bersedia menerima lamaranku?" Ujarnya lagi.

"M-mas, aku-"

"Apa sebenarnya yang kamu inginkan dari pernikahan ini!?"

Aku terperengah mendengar suaranya yang sedikit meninggi, ini pertama kalinya dia membentakku begini.

"Aku nggak ngerti apa maksud kamu mas, aku pikir selama ini kita baik-baik saja." Kudongakan kepalaku, menghalau air mata yang sebentar lagi kuyakini akan mengalir deras.

"Ya, karna aku memang nggak sepenting itu, makanya kamu merasa baik-baik saja setelah apa yang kamu lakukan kepadaku."

"Mas, apa maksud kamu?" Memutar duduk kearahnya, yang kudapatkan justru semakin membuatku bertambah sesak. Sebenci itu kah dia padaku, sampai-sampai melengos seperti jijik melihatku.

"Kamu pasti bahagia nggak ada aku kan? Bisa bebas pergi kemanapun yang kamu mau dengan lelaki itu." Dia tersenyum mengejek kearahku.

Aku terperanjat kaget, lelaki mana yang dia maksud?



DESTINY (Behind The Wedding)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang