Jalan-jalan

26 3 0
                                    

Aku menatap malas kearah dua lelaki yang sejak tadi mengoceh nggak jelas, sedangkan tangan mereka sendiri sibuk menekan stick PS dengan brutal. Kalau saja benda itu bisa ngomong, mungkin sudah dari tadi dia berteriak minta di lepaskan.

"Mas, makan dulu. Udah siang loh ini." Ini sudah kesekian kalinya aku mengingatkan, tapi lelaki itu tetap saja nggak mendengarkan sama sekali.

Setiap kali aku mengingatkan, selalu saja dia mengiyakan. Tapi lihat sendiri, cuma suaranya saja yang nyaut, orangnya sama sekali nggak bergeser dari tempatnya!

"Raiga! Mau makan nggak kamu!? Kalau nggak, Mba buang tuh stick ke selokan!" Ancamku lagi. Kali ini aku beralih sasaran, sama yang tadi nggak mempan soalnya.

Baru saja aku mau lanjut ngomel, kedua lelaki itu sudah berlarian ke ruang makan. Aku meringis prihatin menatap stick PS yang sudah tergeletak tak berdaya di lantai. Heran sama dua orang itu, kalau sudah main game ya begitu, nggak bakalan ingat waktu lagi.

Begitu menyusul ke meja makan, aku mendapati Raiga yang sedang mengisi penuh piringnya dengan berbagai macam lauk. Ini konsepnya gimana sih, dia mau makan lauk dengan toping nasi, begitu? Itu nasinya sampai nggak kelihatan karena ketutupan lauk yang lebih banyak daripada nasi.

"Kamu makan nasi apa makan lauk?" Tegurku.

"Aku lagi males makan nasi hari ini." Ucapnya seraya tersenyum lebar memamerkan gingsulnya.

Menghela napas aku kemudian beralih ke sampingku, "Mas, nggak makan?" Tanyaku heran.

"Ambilin," ucapnya datar.

"Peka dong Mba, masa gitu aja ngga paham. Parah nih." Ujar Raiga sambil mencomot perkedel yang ada di depanku.

"Nggak usah kompor deh!" Ucapku seraya mengisi piring Mas Raka dengan nasi sesuai porsi yang dia minta. "Mau tumis bayem?" Aku menengok ke Mas Raka.

"Iya, sama ikan goreng juga."

"Perkedel nya?"

"Boleh."

Begitu selesai mengisi piring Mas Raka, aku langsung mengisi piringku sendiri. Ada tumis bayem, ikan nila goreng, bacem tempe, dan juga perkedel kentang. Nggak sabar rasanya pengen mencicipi makanan hasil karyaku sendiri. Iya, tadi aku memang memasak sendiri tanpa bantuan siapapun. Karena sejak jam 8 pagi tadi, Raiga sudah datang merecoki Mas Raka. Mumpung hari minggu katanya, jadi bisa leluasa ngajakin kakak iparnya tanding main PS.

Aku heran sama si Raiga, padahal dia belum lama kenal sama Mas Raka, tapi sikapnya itu seperti orang yang udah sahabatan lama sama Mas Raka. Nggak ada canggungnya sama sekali dari pertama kenal juga.

Tapi walaupun begitu, adikku itu nggak pernah bersikap kurang ajar sama Mas Raka. Dia tetap menjaga sikap dan bisa menempatkan diri sebagaimana layaknya seorang adik. Suamiku pun begitu, meskipun dia udah dekat banget sama adikku, tapi di beberapa waktu dia tetap bersikap selayaknya seorang kakak. Menasehati kalau adiknya salah, mengarahkan saat adiknya butuh bantuan, dan mengajarkan banyak hal yang bermanfaat kepada adiknya. Dia bisa menjadi kakak sekaligus teman main yang menyenangkan.

Selesai makan siang aku langsung saja mengusir kedua lelaki itu dari wilayah kekuasaanku. Karena yang aku ingat, Mas Raka sama Raiga belum sholat sama sekali, jadi biar saja aku membereskan bekas makan sendirian. Lagian aku sudah sering melakukan pekerjaan rumah sendirian kok, jadi ngga masalah sama sekali.

Saat aku sedang mengelap tangan sehabis mencuci piring, terdengar suara salam dari luar. Cepat-cepat aku berjalan ke pintu depan, pikirku siapa yang bertamu di siang bolong begini.

Begitu membuka pintu, aku di kagetkan dengan wajah Naira yang belepotan. "Loh, Dek. Ini Naira kenapa?" Ucapku heran. Iya, yang saat ini ada di depanku adalah adik iparku dan si gemas, Naira.

DESTINY (Behind The Wedding)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang