Bagian 5

9 2 0
                                    

Gisella melangkahkan kakinya pelan setelah turun dari bus yang sudah menjadi pendampingnya setiap pergi dan pulang sekolah. Kakinya berjalan dengan pelan di trotoar.

Ia mendonggakkan kepalanya ke atas, menatap langit yang berwarna jingga. Suasana jalanan yang ramai oleh kendaraan bermotor seketika hilang akibat diabaikan oleh empunya.

Helaan nafas kasar berhembus dari hidungnya. Perasaan dirinya hari ini memburuk sepanjang pelajaran hingga waktu pulang.

Pelupuk matanya terasa perih seiring dengan cairan yang sudah terkumpul di sudut matanya. Kepalanya masih setia menatap langit.

Tenggorokannya seperti tercekat oleh desakan kecil yang ia tahan. Perlahan ia menutup matanya hingga cairan yang tertahan itu jatuh dengan bebas membasahi pipinya.

Sekali lagi, hembusan nafas kasar terdengar olehnya. Tarikan nafas yang kuat hingga oksigen masuk melalui hidung menjalar ke paru-paru lalu ia hembuskan kasar melalui mulutnya.

Gisella menghapus air matanya dan mengelap pipinya yang basah. Ia tersenyum lebar berusaha untuk menduplikasi ekspresi wajahnya yang lebih baik.

"Sejak awal ekspresi gue udah kek gini lalu apa lagi yang perlu gue tunjukkan" gumamnya tersenyum berusaha untuk tegar.

Gisella benar, sejak awal ia berusaha keras untuk terus tersenyum seakan semuanya baik-baik saja. Tidak apa, ia hanya perlu melakukannya dengan baik dan terus melakukannya seolah berkata bahwa kondisinya baik-baik saja.

"Gue harus pulang pasti ayah dan bunda udah nunggu di rumah" gumam Gisella lalu berjalan cepat.

Kondisi langit yang sudah berwarna jingga tentu tentu saja menunjukkan bahwa hari sudah mulai sore menuju malam dan ia tau bahwa orang tuanya sudah menunggu di rumah.

Gisella beruntung bahwa jarak rumahnya dengan jalan raya tidak terlalu jauh hingga ia tidak perlu berjalan terlalu jauh untuk menaiki kendaraan umum atau pergi ke pasar.

Setelah 10 menit berjalan kini kakinya berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Rumah yang sederhana dengan menggunakan kayu sebagai bahan utama lalu di desain sedemikian rupa agar terlihat cantik dan indah. Rumah mungil yang  memakai material kayu sederhana dengan material atap asbes/seng.

Meski tampaknya sederhana justru rumah inilah menjadi salah satu saksi kehidupan keluarganya. Tempat dimana ia tumbuh besar dilengkapi dengan kehangatan dan canda tawa. Rumah ini menyaksikan seluruh keceriaan, kesedihan dan kehangatan.

Gisella sangat menyukai rumahnya di tambah dengan adanya beberapa bunga yang di rawat oleh bundanya dan dua ayunan kecil yang di buat langsung oleh ayahnya sejak kecil menjadi tempat bermain Gisella dengan adiknya.

Gisella sangat menyukai rumahnya di tambah dengan adanya beberapa bunga yang di rawat oleh bundanya dan dua ayunan kecil yang di buat langsung oleh ayahnya sejak kecil menjadi tempat bermain Gisella dengan adiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ceklek...

"Milla pulang" Ujar Gisella seraya membuka sepatu lalu menaruh di rak kecil khusus sepatu.

OUR HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang