8 | Adaptasi

273 71 85
                                    

Kabar pulihnya pengelihatan dan suara Sohyun dengan cepat terdengar sampai ke telinga keluarganya. Tidak hanya Soyi, mertuanya pun turut berkunjung ke rumah yang berada di tengah hutan itu. Seketika, rumah yang biasanya sesepi kuburan mendadak menjadi ramai bak berada di pasar malam.

Sohyun duduk tegak di atas sofa, diapit oleh suaminya dan Bu Jiyoon. Sementara di belakang mereka, berdiri Minah dan si tukang kebun—yang Sohyun tak ingat siapa namanya. Di depannya, ibu angkatnya dan mertuanya tiada henti menatap Sohyun seolah-olah akan mengulitinya luar dan dalam. Sohyun merasa penuh tekanan.

"Apa benar kau sudah bisa melihat dan bicara?" tanya Nyonya Lim.

"Benar, Ma...." Sohyun ragu-ragu menyebut mertuanya dengan panggilan Mama.

"Baguslah. Setidaknya aib keluarga Lim berkurang sekarang, aku merasa lega."

Sohyun tak mengira kalimat tersebut keluar dari mulut ibu mertuanya, seakan-akan memiliki menantu seperti Cho Sohyun adalah hal yang paling memalukan seumur hidup.

Berbeda dari reaksi Nyonya Lim, Soyi tampak mengerutkan keningnya. Entah apa yang wanita itu pikirkan, yang jelas dari sudut pandang Sohyun, Soyi seperti tidak suka mendengar kabar kesembuhannya.

Lagi-lagi Sohyun merasa tidak percaya. Orang yang ia anggap sebagai ibu itu benar-benar sudah tak punya rasa belas kasih terhadapnya. Sohyun tak ingin mengakuinya, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, jujur ... ia merasa tersakiti. Rasa sayangnya terhadap Soyi melebihi apapun, namun itu semua hancur seketika setelah Sohyun tahu siapa sosok Soyi yang sebenarnya.

"Kalau begitu, aku sudah tak perlu mengirim pelayan pribadi untukmu. Kau bisa merawat dirimu sendiri sekarang."

Sohyun mendengar ucapan ibunya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Kalau berniat mengirim pelayan pribadi, kenapa tidak dari awal saja? Mungkin orang itu memang sengaja ingin mengabaikan Sohyun. Sudah tidak menganggap gadis itu sebagai anaknya.

"Ma, boleh Sohyun meminta sesuatu?"

Sejak kehilangan pengelihatan, Sohyun jarang menggunakan ponselnya. Bahkan setelah menikah, Sohyun tak tahu dimana keberadaan ponsel itu. Sehari-hari yang menemaninya adalah sebuah MP3 player yang memutar lagu-lagu pop favoritnya. MP3 player pemberian dari Sohee sebelum keberangkatannya ke Belanda. Setidaknya, Sohyun harus mencari rahu kabar dari Paman Han.

"Apakah Mama menyimpan ponselku? Sohyun membutuhkannya."

"Untuk apa?"

Ternyata benar. Mama yang menyimpannya.

"Tentu saja setiap orang membutuhkan ponsel, Ma. Bagaimana kalau Sohyun ada kepentingan dengan Mama? Bukankah Sohyun harus menelepon Mama?"

"Pakai saja telepon rumah. Di sini kan ada. Lagi pula, mendapatkan sinyal di hutan itu sulit. Tidak ada gunanya kau punya ponsel di sini."

"Ma, apa salahnya dicoba...."

"Cukup, Sohyun. Padahal baru sembuh, tapi kau sudah berani melawan. Kalau orang tua berkata 'tidak', ya 'tidak'. Apa kau paham?"

Benar-benar seperti orang asing. Cara bicara Mama juga begitu dingin. Aku sampai tidak bisa mengenalinya.

"Kalau begitu, boleh Sohyun minta hal yang lain? Sohyun tidak akan mengungkit soal ponsel lagi kalau Mama mengabulkan ini."

"Baiklah, mari kita dengar."

Sohyun tersenyum tipis, setengah menengok ke belakang. Ya, tentu saja. Apalagi yang Sohyun inginkan kalau bukan menyingkirkan Minah dari rumah ini? Sekarang, tidak ada alasan untuk menahan Hwang Minah. Karena Sohyun sudah sembuh, ia sendiri yang akan menjaga suaminya. Tanpa campur tangan siapapun.

Love LanguageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang