Selamat malam semua, happy baca ya...
***
Celana jeans berwara navy menemani langkah kaki jenjang Jira memasuki rumah bergaya Eropa. Disetelkan dengan tunik panjang berbahan sifon, berwarna soft peach, senada dengan pasmina membalut kepalanya. Tepian busana feminis itu tampak mengayun, menyertai penampilan dengan anggun.
Kulit putih Jira seakan memberi nyawa warna pastel bajunya. Tingkah enerjiknya tampak kalem sekalipun semakin cepat jalannya. Bahkan shoulder bag hitam berbahan kulit yang menggantung di pundak tak tampak dominan. Pas dan pantas dengan flatshoes mauve berbahan rajut.
Setelah seharian bergelut dengan persediaan bahan untuk bisnisnya, sudah saatnya Jira memilih tempat menghibur diri. Dan arisan keluarga inilah yang ia pilih. Pasalnya, momentum seperti ini adalah ajang berkumpul sepupu-sepupunya dari yang masih sekolah sampai yang sudah berumahtangga. Seru-seruan, saling tukar ingatan. Bahkan tak jarang akan berujung saling olok kekonyolan di masa lampau, saat mereka masih jadi anak ingusan.
Sementara muda-mudi seru-seruan, para orang tua akan membentuk geng di meja berlainan. Kasarnya biar nyambung, obrolan harus disesuaikan dengan usia.
"Jira!," panggil seorang wanita dari arah sofa ruang tamu.
Kedua mata Jira yang semula mencari keberadaan orang tuanya pun beralih. Ia merespon dengan lambaian tangan, lalu mengode agar bersabar. Orang tuanya harus lebih dulu mengetahui kedatangannya. Pasalnya Laila, ibunya, sudah tak terhitung berapa kali menghubungi. Khawatir Jira absen di pertemuan keluarga kali ini. Terlebih arisan ini sekaligus momentum untuk mengabari para kerabat jauh perihal rencana pernikahannya yang tinggal empat puluh hari lagi.
Di sisi lain, Laila sendiri tergolong pribadi yang sangat mendahulukan kepentingan keluarga, arisan ini contohnya. Menurutnya harus terus dijaga keberlangsungannya. Demi menjaga tali silaturahim. Demi kelancaran rizki, dan demi-demi yang lain, yang kadang Jira tak begitu mengerti.
Untungnya, si putri bungsu cukup bisa diajak kompromi. Bagi Jira sendiri yang penting perjumpaan dengan keluarga bisa mendatangkan kesenangan, jadi hiburan. Terlebih sejak kecil mereka cukup akrab, sampai kini beranjak dewasa dan berkeluarga komunikasi di grup keluarga tetap terjaga.
"Jira sudah datang, Mi!," seru Jira sambil menepuk kedua pundak ibunya dari belakang. Sengaja mengagetkan. "Assalamualaikum, Om dan Tante semua... ."
Wanita yang duduk di meja makan itu pun sontak menepuk-nepuk dadanya. "Jira, nggak enak ya kalau nggak bikin Umi kaget," protes Laila kesal.
Sontak semua yang mengelilingi meja makan tertawa. Para saudara kandung dan sepupu Laila berkumpul di sana. Sudah menjadi kewajiban Jira mengulurkan tangan dan menyalami semua.
"Langsung dari kantor?," Zulfan mengintrogasi Jira. Kedua matanya bergerak mencari seseorang seseorang yang mungkin menyertai di belakang putrinya. "Sendiri?"
"Sendiri, Bi. Jafin tidak bisa ikut. Kantor sedang tidak bisa ditinggal."
"Wah calon manten sudah datang," sapa Hilda yang baru bergabung ke meja. Sejak tadi wanita yang menjadi tuan rumah itu sibuk menyajikan jamuan. Sekarang, di tangannya membawa dua piring besar udang bakar yang kemudian buru-buru disambut Jira dengan bantuan.
"Arisan selanjutnya kan di rumah kalian nih, berarti nanti status Jira sudah berubah loh," imbuh Ibnu melengkapi sapaan istrinya.
"Eh Om Ibnu," Jira memutar tubuh, menyalami, mencium punggung lelaki tinggi besar itu. "Maaf Jira agak telat. Macet. Om dan Tante, apa kabar?"
Keduanya tersenyum. Lalu mengangguk memahami.
"Baik. Kamu bagaimana? Calon manten kudu sehat-sehat loh ya." Ibnu berpesan. "Sayang nih calon suamimu nggak ikut datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAJIRA (21+)
RomanceDipaksa menjalani biduk rumah tangga dengan lelaki yang tidak seharusnya, membuat Jira menyiapkan benteng perasaan yang tinggi. Terlebih Fathir -nama lelaki itu- adalah seseorang yang menjagal kisah cintanya dengan Jafin, lelaki yang dicintainya dan...