Haloowww, notif subuh nih...
Happy baca ya***
Dengan kedua tangannya ia merenggut, dan dengan kedua tangannya pula ia akan menjaga kehormatan seorang wanita yang kini dalam ranah tanggungjawabnya. Demikian Fathir terus menerus membatin sumpahnya.
Detik berganti, Fathir terus memperhatikan wajah Jira, juga tubuh ringkihnya. Ah semalam, ia ingat dengan jelas rasa gadis itu. Harumnya yang mengobarkan nafsu. Mendorongnya mencium dan memadu. Bibir merah muda yang kini basah oleh air mata itu pun sudah ia cumbu.
Ia ingat saat kedua tangan besarnya menanggalkan satu per satu. Lalu membelai dari ujung rambut hingga kaki. Disertai dengan kecupan di berbagai titik yang meninggalkan bekas seksi. Yah, bayangan kulit mulus Jira yang indah tampak jelas di pelupuk mata. Belum lagi yang ada di sela paha, sangat memabukkannya.
Diam-diam Fathir mengutuk khilafnya. Menyesali diri yang lalai dan terlalu berani. Apa yang menghuni pikirannya hingga berani menjamah ladang yang bukan miliknya?
Ia tak tega melihat gadis yang kini tampak tergugu lemah. Ah rahangnya mengetat sendiri, geram pada diri yang berpikir pendek. Lantas kembali mengusap muka dengan kasar.
"Aku yang akan menanggung dosa zina, bukan kamu. Dan aku akan bertanggungjawab atas perbuatanku padamu. Akan kunikahi kamu."
Ia peluk tubuh ringkih Jira. Erat sekali meskipun Jira menolak dan terus memberontak. Cukup ia terima saat Jira tak henti memukuli dadanya dengan kekuatan maksimal.
Cup! Fathir melabuhkan ciuman di puncak kepala. Ini terlanjur salah. Dan bagaimanapun ia harus memperbaikinya.
Kekacauan Jira tak memberi kesempatan untuk terlena pada sebuah kecupan. Walaupun dengan jelas ia kembali mendengar itikad pertanggungjawaban sebelum langkah berat Fathir meninggalkan kamar, setelah menghancurkan hidupnya, masa depannya, harga dirinya. Lelaki itu merenggut semua darinya. Lalu pergi begitu saja.
Apakah sebuah tanggungjawab adalah simbol keadilan? Sementara yang menimpa dirinya berakibat fatal, merembet kemana-mana dan akan tertinggal di ingatan banyak orang. Soal Jafin? Oh Jira ingin mati saja. Belum sanggup menganggap semua yang terjadi di depan mata sebagai takdirnya.
Di antara tangis, Jira tercekat. Lagi-lagi ia bertanya, ini mimpi, bukan? Empat puluh hari lagi ia akan menikah dengan lelaki yang dicintai dan mencintai. Mana mungkin mengalami kejadian sepahit ini. Undangan untuk kerabat jauh bahkan sudah disebar. Semalam keluarga ibunya pun sudah diberi kabar. Tapi... Lelaki lain telah mendahului calon suaminya, menodainya. Ia merasa akan gila jika dipaksa percaya.
Namun di sisi ranjang itu Jira menyadari sesuatu. Udara yang hilir mudik di kedua lubang hidungnya terus memaksanya percaya bahwa ini bukan tragedi semu. Ia hidup dan tertimpa musibah. Lalu tangisnya pun lepas landas, mengudara di antara hening. Tapi ia takut orang lain mendengar, tangis perih itu pun berubah menjadi isakan. Jira ketakutan sendirian.
***
Berkali-kali Jira mencoba menghubungi Fathir, tapi lelaki itu seakan sengaja mengabaikan. Pesan singkatnya tak dibaca, padahal dengan jelas Jira melihat whatsapp-nya berstatus online.
Wajah sembab Jira diperparah dengan gelisah. Ia takut dan segera berbenah. Berulangkali menghadap cermin untuk menghela napas pelan, membentuk wajah tenang, seolah tidak terjadi apa-apa, sebagaimana yang ingin ia sampaikan pada Fathir. Mari berlaku seolah tak ada yang terjadi. Mari berdrama. Sayangnya, berkali-kali mencoba, Fathir tetap tak menggubris teleponnya.
Sekuat tarikan nafas panjang Jira mengawali langkah beratnya untuk keluar dari kamar. Namun, bismillahirrahmanirrahiim...
Masih sempat ia menoleh sebentar, kamar terkutuk, batinnya menggumam. Menyesali pun tiada arti tapi tetap kamar itu ia benci. Kemalangan hidupnya bermula dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAJIRA (21+)
RomanceDipaksa menjalani biduk rumah tangga dengan lelaki yang tidak seharusnya, membuat Jira menyiapkan benteng perasaan yang tinggi. Terlebih Fathir -nama lelaki itu- adalah seseorang yang menjagal kisah cintanya dengan Jafin, lelaki yang dicintainya dan...