***
"Cerai? Mas Fathir sama Mbak Erin, cerai?" Jira menutup bibirnya. Terkejut dan sangat merasa bersalah.
Mata Jira terbelalak. Ia gigit bibir bawah. Malu. Menyesal dan tidak enak hati. Pasalnya, selama ini Fathir sangat baik dan ramah padanya. Istrinya, Erin, juga sama baiknya. Setiap kali ada kesempatan berjumpa, ia dan Erin akan mengobrol banyak hingga lupa waktu saking asyiknya.
Lebih-lebih, Fathir juga jadi tempat mengadu, berkeluh kesah tentang kendalanya dalam merintis usaha selama ini. Dari awal merintis usaha kulinernya, Fathir lah yang mengarahkan tiap kali bisnisnya ada masalah. Sebagai yang lebih dulu memulai bisnis besar, Fathir kerap menyumbangkan ide hingga setiap masalah Jira menemukan solusi dan titik terang. Sampai akhirnya, usaha shawarma yang Jira rintis bersama Jafin bisa berkembang menjadi waralaba.
"Kok tiba-tiba, Mbak? Aku kan nggak tahu," Jira berbisik.
"Lagian, dia mau cerai kudu ngasih tahu kamu gitu?"
Benar juga sih, batin Jira. Ia meringis. Mereka lantas memilih banyak mengobrol soal kehidupan masing-masing. Tak lupa pula tentang kenangan masa kecil. Dan Jira akan selalu jadi korban bulan-bulanan. Pasalnya masa kecil Jira cukup aneh, ia adalah pemberani tapi juga yang paling melankolis di antara semua.
Lelah karena terus menerus dibercandai, Jira butuh pasokan kesegaran. Ia menepi ke pantry. Ya, rumah besar bergaya Eropa klasik itu juga dilengkapi area pantry lengkap dengan beberapa jenis minuman halal.
Jira tertarik dengan semangkuk es batu bening yang tampak menyegarkan. Ia tergoda menambahkan beberapa kotak ke gelas mocktailnya.
"Kurang dingin?," sapa seseorang dari arah belakang Jira.
Jira menoleh. "Eh, Mas Fathir?"
Ia lantas membagi senyumnya, yang juga dibalas oleh Fathir dengan senyum tipis tapi cukup memesona.
"Lagi pengen minum yang segar aja sih, Mas," lanjut Jira menanggapi sapaan Fathir. "Sudah mandinya?"
Tiba-tiba Fathir menduduki kursi di samping Jira. Bahasa tubuhnya seakan butuh teman, mengajak gadis itu mengikuti jejaknya menduduki kursi kayu dengan kaki panjang khas cafe kebanyakan.
"Hm, sudah." Fathir mengangguk. "Shawarma, lancar kan?"
Jira mengangguk, tersenyum antusias. Bahkan tanpa sadar duduk membersamai Fathir. Obrolan soal usaha kulinernya itu selalu mengobarkan semangatnya. "Alhamdulillah, ada beberapa cabang lagi yang sudah buka. Ya scoop-nya masih area Jakarta sih, tapi aku yakin pelan-pelan akan semakin luas."
"Bagus dong." Fathir meneguk segelas air putih.
"Kan berkat bimbingan Mas Fathir juga."
"Bimbingan lewat pesan WA?" Fathir tak setuju dengan pemilihan kata 'bimbingan' yang Jira ucapkan. "Nggak ada istimewanya."
"Terus apa? Kan Mas Fathir yang selalu ngasih solusi kalau aku sedang ada masalah."
"Itu cuma hal-hal dasar, Jira. Keberhasilan seorang pengusaha bukan karena rajin mendengar petuah, tapi karena kerja kerasnya."
Merasa disanjung, senyum Jira merekah. Di matanya, Fathir adalah sosok yang begitu dewasa. Jira begitu segan. Setiap kalimat lelaki itu sangat bijak, tidak pernah banyak tapi tepat. Ibarat bidikan, Fathir selalu sangat akurat. Itulah yang membuat benaknya terus bertanya, apa gerangan penyebab keretakan rumah tangga lelaki yang terpaut sembilan tahun lebih tua darinya itu? Padahal, setiap kali berjumpa, Fathir dan istrinya tampak biasa-biasa saja.
"Jira? Ada apa?" Fathir mengibaskan tangan di depan wajah Jira.
Jira terjingkat, Wajahnya pun memanas. Sikapnya gelagapan. Malu karena ketahuan melamun saat menatap wajah Fathir. Andai lelaki itu tahu isi pikirannya, sudah pasti Jira kabur saja.
![](https://img.wattpad.com/cover/301168785-288-k508731.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HAJIRA (21+)
RomanceDipaksa menjalani biduk rumah tangga dengan lelaki yang tidak seharusnya, membuat Jira menyiapkan benteng perasaan yang tinggi. Terlebih Fathir -nama lelaki itu- adalah seseorang yang menjagal kisah cintanya dengan Jafin, lelaki yang dicintainya dan...