1

8.5K 715 122
                                    

Melamar dan dilamar, sebuah prosesi yang sepantasnya dilakukan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Di mana kedua sisi keluarga berkumpul, dua kebiasaan yang terbangun harus lebur, menyaksikan sepasang merpati yang hendak mengikat janji.

Jika harus mengorek lukanya,
Jira pernah merasa menjadi merpati yang sama saat menerima tautan cincin dari Jafin. Kala itu ia memamerkan senyum tersipu, merona pipinya, berbunga jiwanya. Seorang yang dicinta berniat mempersunting, menjadikan ratu di rumah surga mereka. Sungguh indah rancangan manusia.

Ah andai saja ini dejavu. Andai yang hadir membawa orang tuanya di tengah-tengah keluarga inti Jira adalah Jafin. Andai momen saat Jafin dengan berani menawarkan proposal masa depan bahagia di hadapan orang tuanya itu bisa terulang.

Andai saja... Gadis bermata bulat itu tentu tak perlu menunduk dengan tangan mengepal menahan kemurkaan. Jika tak lupa adab, seharusnya ia usir lelaki yang duduk berseberangan dengannya itu, lelaki biadab yang menghancurkan sketsa rumah tangganya dengan Jafin.

Tapi kenapa harus ada adab untuk seorang yang bahkan tak beradab? Batin Jira terus mempertanyakan. Gejolak yang muncul sebagai akibat dari kehancuran, ketidakterimaan, dan kekecewaan terus menggerus kesabaran.

"Jira...," serak Laila saat membelai lengan putrinya. Di hadapan keluarga pelamar, yang juga calon besan, penting baginya bersikap ramah. Di luar dari dahsyatnya gelegar petir yang merenggut kebahagiaan mereka, ia tetap harus menerima kenyataan bahwa inilah jalan keluar... yang dipaksakan.

"Fathir datang untuk melamar, berikan jawabanmu, Nak. Dia sudah menunggu lama," lanjut Laila.

Sebelumnya, keras usaha Laila membujuk putrinya agar bersedia turun menemui keluarga pelamar. Entah sudah berapa kali ia mendoktrin Jira untuk menerima pinangan, sampai putrinya itu kesal dan berkata tak sopan. Kali ini, jika tak ingat bahwa yang bicara adalah ibunya, sudah pasti ia menyambar cepat dengan kalimat yang arogan.

Jira diam. Memendam amarah dan kesabaran yang saling berbenturan. Hingga Jira sendiri tak tahu mana rasa yang lebih dominan, terzalimi atau menzalimi. Di satu sisi ia dihancurkan oleh lelaki biadab itu, di sisi lain ia membangkang orang tuanya dengan segala bentuk penolakan.

Sesungguhnya ia butuh didengar, tapi saat ia bicara, tak ada satu pun telinga orang lain berfungsi untuk mendengar, saat ia merintih kecewa, saat ia mengutarakan betapa tersiksa oleh rasa bersalah pada Jafin. Juga betapa berat menyangga tubuh yang kotor agar tetap berdiri tegak untuk melawan. Ia sendiri ditimbun sakit hati, dinistakan tapi tak ada yang kaasihan, dijerumuskan dalam kelam ikatan perkawinan yang sudah bisa ia bayangkan. Tapi Jira sadar, ia tak boleh selemah itu.

"Jira," Zulfan menegaskan. Dari nadanya, Jira tahu ayahnya sedang memaksakan kemauan. "Jawablah lamaran Fathir."

Mendengar nama lelaki itu disebut saja dadanya berdenyut. Nyeri sekali. Begitu menjijikan hingga membuatnya ingin muntah. Lebih dari itu, ia ingin membunuhnya, agar tak lagi ada sosok yang menghantui jiwanya. Atau mungkin lebih baik dirinya sendiri yang mati dari pada harus menerima lamaran lelaki yang memorak-porandakan cinta dan masa depannya bersama Jafin.

Jika saja tragedi terkutuk itu tak terjadi. Andai ia masih suci. Mungkin saat ini cincin pertunangan dari Jafin masih melingkar di jari manisnya yang lentik. Ia dan Jafin juga pasti sedang disibukkan dengan segala urusan menjelang pernikahan. Betapa nikmat dikenang walau hanya sebatas angan. Kemustahilan.

"Aku ingin menjadikanmu istriku, Jira." Dengan lugas Fathir mengutarakan tujuan. "Aku dan orang tuaku menunggu jawabanmu."

"Aku menolak," sahut Jira cukup berani bingkai matanya yang basah belum berani menatap siapapun yang sedang duduk di ruang tamu rumahnya.

HAJIRA (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang